TV Desa – Bali : Pengelola desa Penglipuran, Inengah Moneng, nampak sibuk mendampingi serombongan team PKK Kota Makassar berkeliling desa.
“Desa ini terpilih sebagai desa terbersih ke tiga di dunia, dengan peran serta ibu-ibu rumah tangga. Dan, tentunya ilmu ini patut kader-kader PKK Makassar miliki. Kami sengaja mengajak seluruh anggota untuk berkunjung ke sana. Untuk melihat secara langsung, sebagai bekal dalam pembinaan kader,” ujar Indira Jusuf Ismail, Ketua Tim Penggerak PKK Kota Makassar, Jumat (08/10/2021).
Di Penglipuran, rangkaian study comparative Tim Penggerak PKK Kota Makassar, diberikan kesempatan untuk menyaksikan lebih dekat, bagaimana ibu-ibu rumah tangga desa, mampu menjaga kebersihan lingkungan. Peran para perempuan desa Penglipuran, juga diperlihatkan dalam bentuk upaya aktif mereka memanfaatkan lahan pekarangan sebagai penunjang perekonomian keluarga, dengan menanam berbagai tanaman buah dan sayur-mayur.
Selama study comparative, I Nengah Moneng, menjelaskan bahwa desa mereka memiliki lahan hutan bambu seluas 45 hektare. Bambu tersebut digunakan warga, untuk diolah dan dirangkai menjadi kerajinan anyaman. Demikian pula dengan daun-daun kering yang diolah sebagai kompos. Selanjutnya, untuk menjaga kebersihan desa, I Nengah Moneng menceritakan bahwa ibu-ibu rumah tangga telah memisahkan limbah organik dan non organik, sejak dari rumah mereka masing-masing.
Limbah organik, mereka manfaatkan sebagai pupuk, sedangkan limbah non organik, dikumpulkan dalam boks khusus, yang sudah dipersiapkan Dinas Lingkungan Hidup. Sementara untuk sampah plastik, diolah oleh TP PKK Desa Penglipuran bekerja sama dengan bank sampah, untuk menjemput sampah plastik warga.
Selain itu, ibu-ibu rumah tangga juga melakukan pembibitan berbagai tanaman hias, sebagai salah satu upaya peningkatan perekonomian masyarakat.
Dalam kunjungan kali ini, TP PKK Kota Makassar juga menyerahkan cenderamata hasil kerajinan enceng gondok, dari Makassar.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.