TV Desa – Denpasar : Dari 43 desa/kelurahan yang ada di Denpasar, sebanyak 35 desa/kelurahan sudah masuk zona hijau penularan Covid-19, sementara itu, sebanyak 8 wilayah masuk zona kuning.
“Selain itu, sebanyak 18 wilayah juga memiliki kasus aktif Covid-19 sebanyak nol kasus,” kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kota Denpasar, I Dewa Gede Rai saat ditemui, Rabu (3/11/2021).
Dewa Rai menuturkan kondisi yang menunjukkan tren positif ini diakibatkan oleh perkembangan kasus positif Covid-19 di Denpasar yang terus mengalami penurunan. Kondisi perkembangan kasus Covid-19 di Kota Denpasar, saat ini didominasi oleh zona hijau.
Adapun rinciannya zona wilayah di Denpasar yakni untuk di Denpasar Utara sebanyak 10 wilayah zona hijau, sementara 1 wilayah zona kuning yakni Dangin Puri Kangin.
Untuk Denpasar Barat, 9 wilayah zona hijau dan 2 wilayah zona kuning.
Denpasar Selatan, sebanyak 4 wilayah zona hijau, 6 wilayah zona kuning.
Serta Denpasar Timur sebanyak 10 wilayah masuk zona hijau, dan 1 wilayah zona kuning yakni Kelurahan Sumerta.
Sementara itu, 18 wilayah yang memiliki nol kasus aktif yakni Desa Peguyangan Kangin, Kelurahan Peguyangan, Kelurahan Ubung, Desa Pemecutan Kaja serta Dangin Puri Kauh untuk Kecamatan Denpasar Utara.
Kecamatan Denpasar Selatan meliputi Kelurahan Serangan, Desa Sanur Kaja, dan Kelurahan Sanur.
Kecamatan Denpasar Barat ada Kelurahan Pemecutan, serta Dauh Puri Kangin.
Serta Kecamatan Denpasar Timur yakni Kelurahan Penatih, Desa Penatih Dangin Puri, Desa Kesiman Petilan, Desa Sumerta Kaja, Sumerta Kauh, Kelurahan Dangin Puri, Desa Dangin Puri Kelod, dan Sumerta Kelod.
“Kami berharap kasus terus mengalami penurunan sehingga semua wilayah bisa segera zona hijau,” katanya.
Pihaknya mengaku mengatensi wilayah yang masih memiliki kasus positif Covid-19 yang tinggi.
Dimana di wilayah tersebut pihaknya menggencarkan sidak protokol kesehatan termasuk peningkatan testing serta tracing. Secara umum, untuk Kota Denpasar sendiri saat ini masuk dalam zona kuning.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.