TVDesa – Solok : Desa Wisata Alahan Panjang, dengan Danau Diateh yang memukau, semakin memantapkan posisinya sebagai destinasi wisata unggulan di Sumatera Barat. Terletak di kawasan perbukitan dengan udara sejuk, desa ini menawarkan pengalaman wisata yang tak terlupakan.
Daya tarik utama Alahan Panjang adalah keindahan alamnya yang masih asri. Danau Diateh, salah satu dari Danau Kembar, menjadi ikon wisata yang tak pernah lekang oleh waktu. Pemandangan perbukitan hijau yang mengelilingi danau, serta udara sejuk yang khas, membuat pengunjung betah berlama-lama. Tak heran jika Alahan Panjang sering disebut sebagai “Nagari Dingin Tanpa Salju”.
Selain keindahan alam, desa ini juga kaya akan budaya dan kearifan lokal. Pasar wisata tradisional Balai Sawah Tangah, misalnya, menawarkan pengalaman berbelanja unik dengan menggunakan koin khusus. Pengunjung dapat menikmati suasana pedesaan sambil mengenakan pakaian tradisional sambil mencicipi berbagai kuliner khas.
“Kami berupaya melestarikan budaya dan kearifan lokal melalui pasar wisata ini,” ujar Vega Denia Surya, Ketua Pengelola Desa Wisata Alahan Panjang.
Inovasi dan Kreativitas Masyarakat
Masyarakat Alahan Panjang juga aktif dalam mengembangkan berbagai produk kreatif. Batik motif lado kambuik (cabai paprika) yang menggunakan pewarna alami menjadi salah satu contohnya. Produk ini tidak hanya unik, tetapi juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
“Kami terus berinovasi untuk mengembangkan potensi lokal,” tambah Vega.
Pengakuan Nasional
Prestasi gemilang diraih Desa Wisata Alahan Panjang dengan masuk dalam 50 besar desa wisata terbaik di Indonesia dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia Tahun 2024. Prestasi ini menjadi bukti bahwa Alahan Panjang memiliki daya tarik yang mampu bersaing di tingkat nasional.
Direktur Tata Kelola Destinasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Florida Pardosi, mengapresiasi upaya masyarakat Alahan Panjang dalam mengembangkan desa wisata. Ia berharap prestasi ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
“Potensi Alahan Panjang sangat besar. Dengan dukungan semua pihak, desa ini dapat menjadi destinasi wisata yang lebih maju,” ujar Florida.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.