Ketenangan dan suasana alam desa, sudah diakui banyak orang, memiliki daya menenangkan. Demikian pula dengan putri Jenderal Ahmad Yani, Amelia Yani, yang mengalami sendiri, dahsyatnya penyembuhan akibat luka bathinnya. Dilansir dari Kompas.com melalui wawancara khusus wartawan Widianti Kamil, Amelia Yani, menceritakan kisah hidupnya di desa.
Demi menyembuhkan trauma peristiwa G30S/PKI, Amelia Yani memilih untuk hijrah ke pedesaan yang berada di wilayah Sleman, DIY. Kepindahan putri Jenderal Ahmad Yani tersebut terjadi pada 1998.
“Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik,” kata Amelia Yani.
Amelia Yani menetap di desa tersebut selama kurang lebih 20 tahun.
Bagi Amelia Yani, tinggal di desa berhasil melunturkan segala dendam, amarah, kebencian, dan penyakit hati lainnya yang selama ini dia rasakan.
“Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki. Itu hilang. Di desa, itu hilang,” tuturnya.
“Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa. Ketika itu saya menyekolahkan (mulai SMA) Dimas (anak tunggal) ke Australia,” imbuhnya.
Di desa, kegiatan Amelia Yani sehari-hari berkutat dengan alam seperti ke sawah.
Saat tinggal di desa Amelia Yani bahkan juga mempunyai sawah, kolam ikan gurame hingga berbagai macam pohon buah-buahan.
“Saya sendiri di desa. Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah. Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang,” cerita dia.
“Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa,” timpalnya.
Amelian Yani juga mengaku bahwa dia banyak bergaul dengan para petani.
“Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani. Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu. Waktu malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung. Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana,” ujarnya.
Hingga akhirnya, setelah 20 tahun berada di pedesaan itu, Amelia Yani dan anaknya memutuskan untuk kembali ke Jakarta.
“Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil. Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta,” pungkasnya.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.