TV Desa – Bantul : Tiba-tiba profil Desa Wisata Sabdodadi Bantul muncul di papan reklame digital terkemuka dunia, New York Times Square. Kontan beberapa media langsung kasak-kusuk mencari ujung pangkal ceritanya.
“Tentu sangat luar biasa bagi Bantul, terutama Desa Sabdodadi muncul di Times Square New York, yang menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi dunia. Ini menyemangati masyarakat Bantul, mata dunia sudah terbuka pada Bantul. Tinggal kini tantangan bagaimana Bantul siap untuk go internasional, daya kreativitas harus dihadapi,” ungkap Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, dalam acara talkshow Update Forum Ekonomi Tumbuh di Kampung Mataraman, Panggungharjo, Sewon, Minggu (12/9/2021).
Abdul Halim Muslih, dilansir dari krjogja, mengatakan, inisiasi masuknya potensi Bantul ke Times Square merupakan inisiasi Viral Blast Global yang turut andil mengangkat keanekaragaman budaya Indonesia ke tingkat internasional. Viral Blast Global sendiri sengaja bertandang ke Bantul hari ini untuk menyerahkan dana CSR senilai Rp 100 juta kepada Desa Wisata Sabdodadi.
Kabupaten Bantul memiliki sekitar 257 destinasi wisata berbasis budaya, alam dan buatan, 43 desa wisata, 10 desa budaya, 9 rintisan desa budaya, 16 museum, 1200 kelompok seni budaya. Terdata pula 75 sentra UKM dan sekitar 49.700 UMKM dan masih banyak lagi potensi-potensi lain yang menjadi produk andalan setempat yang tersebar di 17 Kapanewon.
Sementara, Owner Viral Blast Global, Zainal Hudha mengungkap keputusan menyertakan potensi Bantul di papan reklame digital terkemuka, New York Times Square berangkat dari komitmen mereka untuk membantu mengangkat potensi lokal di Indonesia, salah satunya Yogyakarta. Viral Blast Global ingin mengkampanyekan ke dunia bahwa saat ini, Yogya sudah kembali (Jogja is back).
“Kami ingin menyampaikan pada dunia, bahwa Yogya sudah kembali. Yogya sudah siap menyambut pariwisata dengan protokol kesehatan yang baik. Kami banyak berbincang dengan Mas Menteri (Sandiaga Uno) dan sepakat bahwa Yogyakarta ini salah satu dari lima potensi pariwisata Indonesia yang harus dikunjungi. Maka tidak ada keraguan untuk membawa Yogyakarta dan Bantul khususnya ke Times Square,” pungkasnya.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.