TV Desa – Lampung Barat : Wajib pajak yang berada di wilayah terdekat dari Tunas Selalu, Pekon Balak, Kecamatan Batu Brak dan BUMDes Tekad, Pekon Trimulyo, Kecamatan Gedung Surian, mendapatkan kemudahan untuk membayar PKB, tidak lagi harus ke Samsat induk.
”Dari 26 BUMDes di Lampung yang telah melakukan penandatangan perjanjian kerjasama, ada dua di Lambar. Dengan diluncurkannya e-Samdes ini, tentu akan memberikan kemudahan kepada wajib pajak. Ini diharapkan membuat partisipasi masyarakat untuk membayar PKB bisa meningkat,” kata Desilia Putri, Kepala UPTD Pengelolaan Pendapatan Wilayah XIV Lampung Barat, Kamis (28/10).
E-Samdes yang dioperasikan oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Lampung Barat, melayani pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB) melalui program Elektronik Samsat Desa (e-Samdes). Ini merupakan program Pemerintah Provinsi Lampung melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) untuk memberikan kemudahan kepada wajib pajak, khususnya di wilayah yang terkendala oleh jarak dan lokasi Samsat induk. Saat ini aplikasi tersebut juga dikembangkan melalui aplikasi L-Smart yang bekerjasama dengan Polda Lampung, Jasa Raharja, dan Bank Lampung.
Desilia Putri mengungkapkan, terkait program e-Samdes, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Akmal Abdul Nasir. Ditindaklanjuti rapat koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Pekon (DPMP).
”Alhamdulillah, respon masyarakat sangat baik. Meskipun belum banyak yang memanfaatkan kemudahan tersebut. Kami juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah, agar keberadaan e-Samdes tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat,” tegas Desilia.
Ke depan, terus Desilia, e-Samdes akan diprioritaskan di Kecamatan Suoh, Kebun Tebu, Air Hitam, dan Pagar Dewa.
“Selain jarak tempuh menuju Samsat induk cukup jauh, Samsat Keliling (samling) yang kami miliki tidak bisa menjangkau wilayah tersebut. Mengingat keberadaan Samling di Pajar Bulan, Kecamatan Way Tenong,” tandasnya.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.