TV Desa – Kubu Raya : Omzet 53 juta perbulan hanya dari mengelola internet desa, sukses diraup Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Bintang Baru, Desa Parit Baru Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Kubu Raya.
“Sampai saat ini sudah ada 216 warga tersebar di empat dusun di desa ini yang menggunakan internet desa dan ditambah tiga korporasi yang berlokasi di Sungai Ambawang. Dari pengelolaan internet desa ini, kita mampu menghasilkan omzet 53 juta perbulan, yang mana hasil dari internet desa itu dimanfaatkan untuk membayar gaji karyawan dan untuk menambah pemasangan internet ke rumah warga yang sudah mendaftar,” kata Sutaman, Ketua BUMDes Bintang Baru Desa Parit Baru di Sungai Raya, Kamis (14/10/2021).
Ketika awal diluncurkan internet desa pada Januari 2021, kisah Sutaman, hanya 15 warga yang menggunakan internet desa, sepanjang Januari sampai April 2021.
“Alhamdulillah, terhitung sejak bulan Mei sampai September kemarin, jumlah pengguna terus bertambah hingga mencapai 216 user,” tutur Sutaman.
Sutaman menargetkan 500 pengguna internet hingga akhir tahun 2021 nanti, karena sampai saat ini sudah ada lebih dari 200 warga yang mengajukan permohonan untuk menggunakan internet desa.
“Untuk tarif yang kita berikan kepada warga bervariasi, sesuai dengan kapasitas internetnya. Untuk 10 Mbps dikenakan biaya 188 ribu sedangkan untuk warga yang menggunakan 20 Mbps dikenakan biaya 251 ribu,” katanya.
Mayoritas warga yang menggunakan jasa internet BUMDes Bintang baru, menggunakan kapasitas 10 Megabyte Per Second (MBPs).
“Ada juga warga yang menggunakan internet berkapasitas 20 sampai 60 Mbps,” terang Sutarman.
Sampai saat ini, BUMDes Bintang Baru, sudah memiliki 5 tenaga khusus internet dan 2 marketing executive. Dari 7 tenaga ini tidak semuanya merupakan warga Desa Parit Baru, karena untuk teknis ini memang membutuhkan pendidikan yang sesuai jurusannya.
“Ke-7 tenaga ini mayoritas merupakan tamatan SMK yang menguasai bidang digital. Tentunya dengan bertambah jumlah pelanggan internet desa ini, kita juga akan menambah tenaga sesuai dengan jangkauan Internet yang kita miliki,” tutup Sutarman.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.