TV Desa – Pohuwato : Gubernur Gorontalo Rusli Habibie mengusulkan agar tanggung jawab vaksinasi di serahkan kepada tiap tiap desa. Hal tersebut dilontarkan gubernur dua periode tersebut, setelah menyaksikan sendiri antusiasisme masyarakat Gorontalo untuk vaksinasi.
“Minggu lalu saya di Paguat vaksinasi untuk siswa banyak yang hadir. Kemarin di Kota Gorontalo vaksinasi massal oleh Polda Gorontalo juga menghadirkan antusiasme masyarakat. Hari ini di Popayato juga sama. Saya sangat bahagia masyarakat sudah mulai sadar penting vaksinasi tapi juga khawatir ini menyebabkan kerumunan,” kata Rusli saat meninjau vaksinasi massal di lapangan Proklamasi Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Kamis (9/9/2021).
Rusli memang meninjau langsung gerai vaksinasi massal yang dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota, yang ternyata menghadirkan antrian panjang masyarakat yang ingin di vaksin. Misalnya saat meninjau di wilayah Kecamatan Popayato, ditemukan antrian panjang. Hal tersebut membuat Rusli melontarkan ide untuk mengurangi panjangnya antrian sekaligus menghindari terjadinya kerumunan.
“Misalnya setiap hari itu di patok 50 orang yang akan divaksin, di tiap-tiap desa. Begitu pula dengan desa yang lain. Kita aktifkan kembali organisasi – organisasi di desa juga. Untuk penyediaan vaksin silahkan koordinasikan dengan Satgas Covid-19 di provinsi, tenaga nakes kan ada di puskesmas – puskesmas. Intinya vaksinasi tetap berjalan, tetapi kita harus tetap menjaga prokes,” ungkap Rusli.
Namun gubernur juga tidak mau gegabah. Ia tidak mau egois dalam hal mengambil keputusan.
“Kita akan rapatkan lagi yah pak bupati nanti dengan seluruh forkopimda. Intinya target kita tetap sama, saya dan pak Kapolda pak Danrem menargetkan Oktober nanti 80 persen masyarakat Gorontalo harus sudah divaksin,” tutupnya.
Penyelenggaraan vaksinasi di Kecamatan Popayato serumpun diikuti oleh siswa dan masyarakat setempat. Ada tiga gerai yang dibuka di lokasi tersebut. Menurut data, setiap gerai sudah ada 200 masyarakat yang berhasil divaksin.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.