TVDesa – Jember : Rerata 6 ton padi per hektare, berhasil dipanen Gabungan Kelompok Tani Tirto Hadi Desa Darsono, Kabupaten Jember, dari lahan yang selama 3 tahun terakhir dipupuk dengan menggunakan pupuk organik hasil racikan Pos Pelayanan Agen Hayati (PPAH) Ollenah Terro, yang dipandegani Sayudi.
“Mereka menciptakan sendiri pupuk organik untuk padi ini,” terang Hendy Siswanto, Bupati jember, usai mengikuti panen padi organik ubinan (petak sawah) di Dusun Padasan, Desa Darsono, Rabu, 17 April 2024.
Hendy menilai, hasilnya cukup bagus karena sebelumnya hasil produksi padi hanya berkisar 3,5 sampai 4 ton gabah dengan menggunakan pupuk kimia, kini sudah mencapai 6 ton gabah per hektare dengan pupuk organik.
“Demikian juga dengan kondisi kesehatan tanah. Sebelum menggunakan pupuk organik, kadar Ph tanah hanya 3 persen dan setelah 3 tahun kadarnya bisa mencapai 5 persen,” tutur Hendy.
Hendy mengajak para petani di Jember beralih menggunakan pupuk organik baik dengan pupuk organik buatan sendiri atau memakai pupuk organik produksi pabrik milik Pemkab Jember yakni pupuk organik “Si Jempol”.
“Memang butuh waktu untuk masa peralihan, dari pupuk kimia ke organik, namun dalam jangka panjang ada dampak positifnya yakni tanah semakin subur dan hasil pertanian makin melimpah,” katanya.
Sementara Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan (TPHP) Imam Sudarmaji mengatakan padi organik tersebut tahan terhadap serangan hama dan penyakit, sehingga menjadi salah satu keunggulan menggunakan pupuk organik.
“Saya berharap Desa Darsono menjadi pilot project petani menggunakan pupuk organik, namun juga butuh pendampingan dari PPL dan mahasiswa Universitas Jember,” ujarnya.
Nampak hadir dalam kegiatan tersebut, Camat Fauzy dan Kades Holil, anggota Gapoktan, Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan Jember, Imam Sudarmaji.

Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.