TVDesa – Bangka Tengah : Desa Kurau Barat, Kabupaten Bangka Tengah, tidak hanya dikenal sebagai surga bagi para pecinta alam, tetapi juga sebagai pelopor dalam penerapan konsep blue economy di Indonesia. Melalui program Smart Fisheries Village (SFV), desa ini berhasil menggabungkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan.
Konsep Blue Economy dalam Praktik
Konsep blue economy diwujudkan di Kurau Barat melalui berbagai kegiatan, seperti:
- Budidaya Perikanan Berkelanjutan: Masyarakat diajarkan teknik budidaya ikan yang ramah lingkungan, sehingga tidak merusak ekosistem laut.
- Pelestarian Mangrove: Hutan Mangrove Munjang dilindungi dan dikembangkan sebagai habitat bagi berbagai jenis biota laut sekaligus sebagai benteng alami terhadap abrasi.
- Pengolahan Hasil Perikanan: Hasil tangkapan dan budidaya diolah menjadi produk-produk bernilai tambah, seperti kerupuk ikan, abon ikan, dan olahan lainnya.
- Ekowisata: Potensi wisata alam di Kurau Barat dikembangkan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Manfaat Blue Economy Bagi Masyarakat Kurau Barat
Penerapan konsep blue economy di Kurau Barat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, antara lain:
- Peningkatan Pendapatan: Masyarakat memperoleh pendapatan yang lebih stabil dari hasil budidaya dan pengolahan hasil laut.
- Pelestarian Lingkungan: Lingkungan laut tetap terjaga sehingga dapat dinikmati oleh generasi mendatang.
- Pemberdayaan Masyarakat: Masyarakat diberdayakan untuk mengelola sumber daya laut secara mandiri.
Tantangan dan Peluang
Meskipun telah banyak meraih keberhasilan, program SFV di Kurau Barat masih menghadapi beberapa tantangan, seperti perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan fluktuasi harga hasil laut. Namun, dengan dukungan dari pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait, tantangan-tantangan ini dapat diatasi.
Keberhasilan Kurau Barat dalam menerapkan konsep blue economy membuka peluang bagi pengembangan sektor perikanan di daerah lain. Desa ini dapat menjadi contoh bagi desa-desa pesisir lainnya di Indonesia dalam membangun ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.