TVDesa – Indramayu : Desa Legok, Kecamatan Lohbener, Kabupaten Indramayu, kembali menggelar tradisi tahunan Mapag Sri pada Rabu (1/5/2024). Acara yang telah berlangsung selama tujuh generasi ini menjadi momen sakral bagi masyarakat setempat untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.
Uniknya, perayaan Mapag Sri di Desa Legok selalu diiringi dengan pagelaran seni tradisional, seperti wayang kulit atau sandiwara. Tahun ini, masyarakat disuguhi pertunjukan sandiwara Chandra Sari yang memukau.
“Mapag Sri bukan hanya sekadar upacara panen, melainkan juga perayaan atas keberlangsungan hidup yang diberikan oleh alam. Melalui seni sandiwara, kami ingin menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Indramayu,” ujar Arih Jahari, Kepala Desa Legok.
Antusiasme masyarakat sangat terlihat dari kehadiran mereka yang membludak. Para ibu-ibu membawa tumpeng lengkap dengan lauk pauk sebagai simbol syukur dan kemakmuran. Setelah doa bersama, tumpeng tersebut dinikmati bersama-sama dalam suasana penuh keakraban.
Lebih dari Sekadar Tradisi
Mapag Sri di Desa Legok memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat. Selain sebagai ungkapan syukur, acara ini juga berfungsi sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi dan memperkuat identitas lokal.
“Melalui Mapag Sri, kita diajarkan untuk menghargai alam, leluhur, dan sesama. Nilai-nilai gotong royong dan kebersamaan yang tumbuh dari tradisi ini sangat penting untuk menjaga keharmonisan masyarakat,” tambah Arih.
Sandiwara Chandra Sari: Hiburan yang Menyegarkan
Pagelaran sandiwara Chandra Sari sukses memukau penonton dengan cerita yang menarik dan akting para pemain yang memukau. Alur cerita yang sarat akan pesan moral berhasil menyentuh hati para penonton.
“Sandiwara ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan inspirasi bagi kita semua. Pesan-pesan yang disampaikan sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari,” ujar salah seorang penonton.
Harapan untuk Masa Depan
Pemerintah Desa Legok berkomitmen untuk terus melestarikan tradisi Mapag Sri. Dengan melibatkan generasi muda dalam berbagai kegiatan, diharapkan tradisi ini dapat terus hidup dan berkembang.
“Kami ingin anak-anak muda kita mengenal dan mencintai budaya sendiri. Melalui Mapag Sri, mereka dapat belajar tentang sejarah, nilai-nilai luhur, dan pentingnya menjaga lingkungan,” pungkas Arih.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.