TVDesa – Jombang : Desa Sidokerto, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, kembali menorehkan prestasi gemilang. Melalui inovasi pemanfaatan energi surya untuk penerangan jalan umum (PJU), desa ini berhasil mengoptimalkan penggunaan anggaran desa dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Pada tahun 2021, Kepala Dusun Jetak, Andik Kurniawan, menginisiasi pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk mengaliri PJU di dusunnya. Ide brilian ini disambut positif oleh Kepala Desa Sidokerto, Abdul Halim, yang kemudian memfasilitasi realisasi proyek tersebut.
“Awalnya, Pak Kasun yang punya ide. Kebetulan beliau yang tahu teknis. Akhirnya kita fasilitasi dan kita bangunkan PLTS di Dusun Jetak,” terang Abdul Halim.
Hemat Biaya, Andal, dan Ramah Lingkungan
Investasi awal untuk membangun PLTS memang cukup besar. Namun, dalam jangka panjang, inovasi ini memberikan manfaat yang sangat signifikan. Desa Sidokerto berhasil menghemat anggaran listrik hingga Rp 10 juta per tahun. Selain itu, PJU yang menggunakan energi surya ini lebih andal dan tidak terpengaruh oleh pemadaman listrik.
“Saat ini, total ada 40 PJU di Dusun Jetak yang memanfaatkan PLTS. Selain lebih efisien dan hemat, saat listrik terjadi pemadaman, PJU di Dusun Jetak juga tetap bisa menyala,” jelas Abdul Halim.
Pemanfaatan Teknologi Digital
Tidak berhenti sampai di situ, Desa Sidokerto terus berinovasi. Saat ini, pengoperasian PJU di Dusun Jetak semakin canggih berkat sistem yang terintegrasi dengan smartphone. Pengguna dapat menyalakan dan mematikan lampu jalan secara remote melalui aplikasi di ponsel pintar.
“Bisa dikontrol lewat HP untuk menyalakan dan menonaktifkan PJU,” ujar Abdul Halim.
Apresiasi dan Inspirasi
Berkat inovasi yang luar biasa ini, Desa Sidokerto berhasil meraih juara 1 lomba inovasi pemanfaatan teknologi tepat guna pada tahun 2022. Penghargaan ini diberikan langsung oleh Bupati Jombang saat itu, Ibu Mundjidah Wahab.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.