TVDesa – Boyolali : Di tengah deretan desa-desa di lereng Gunung Merapi yang masuk wilayah Boyolali, terdapat sebuah desa dengan nama yang tak biasa. Desa Sukabumi, begitulah namanya, seolah membingungkan karena identik dengan daerah di Jawa Barat. Namun, di balik nama yang sama, tersimpan kisah sejarah yang menarik dan unik.
Desa Sukabumi yang berada di Kecamatan Cepogo ini memiliki sejarah panjang yang berkaitan erat dengan masa penjajahan Belanda. Menurut Parjianto, salah satu sesepuh desa, sekitar 100 tahun lalu, seorang tokoh bernama Mbah Dikta Leksana membuka hutan belantara di wilayah ini. Dari sinilah kemudian terbentuklah pemukiman yang pada akhirnya menyatu menjadi Desa Sukabumi.
“Dulu, wilayah Sukabumi ini sangat kaya akan perkebunan kopi dan teh. Belanda mendirikan pabrik pengolahan di sini,” ungkap Parjianto. Keberadaan pabrik inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan mengapa desa ini dinamakan Sukabumi.
Nama Sukabumi sendiri, menurut Parjianto, diberikan sekitar tahun 1923. “Masyarakat sekitar sepakat untuk menamai desa ini Sukabumi karena keindahan alamnya yang asri dan potensi pertaniannya yang sangat menjanjikan,” imbuhnya.
Sayangnya, jejak-jejak keberadaan pabrik Belanda tersebut kini sudah hampir tak terlihat. Bangunan-bangunan pabrik telah hancur akibat peristiwa politik bumi hangus. Meski demikian, warisan sejarah tersebut masih dapat dirasakan melalui cerita turun-temurun yang hidup di kalangan masyarakat Desa Sukabumi.
Hingga kini, masyarakat Desa Sukabumi mayoritas berprofesi sebagai petani. Suburnya tanah di wilayah ini memungkinkan warga untuk menanam berbagai macam tanaman, seperti sayur mayur, tembakau, dan bawang merah. Hasil pertanian mereka dipasarkan di Pasar Sayur Cepogo yang terletak tak jauh dari desa.
“Meskipun nama desa kami sama dengan daerah di Jawa Barat, namun kami memiliki kekhasan tersendiri. Kehidupan masyarakat di sini sangat sederhana dan agraris,” ujar Sumarno, salah seorang warga Desa Sukabumi.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.