TVDesa – Klaten : Desa Wunut, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten, kembali menjadi sorotan. Kali ini, bukan karena keberhasilan dalam mengelola BUMDes, melainkan karena program inovatifnya dalam memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada seluruh warganya.
Setiap kepala keluarga (KK) di Desa Wunut menerima THR sebesar Rp400.000. Jumlah yang cukup besar jika dibandingkan dengan desa-desa lain. Uniknya, sumber dana THR ini murni berasal dari pendapatan asli desa (PADes), tepatnya dari pengelolaan objek wisata Umbul Pelem Water Park.
“Ini sudah tahun kedua kita berikan THR untuk seluruh warga. Tahun lalu Rp 300.000, tahun ini naik jadi Rp 400.000 karena PADes kita juga naik,” ujar Kepala Desa Wunut, Iwan Sulistya Setiawan, Selasa (2/4/2024).
Umbul Pelem Jadi Sumber Kesejahteraan
Suksesnya program THR ini tidak lepas dari pengelolaan objek wisata Umbul Pelem yang begitu apik. Awalnya, umbul ini hanya sebuah mata air biasa. Namun, berkat inovasi dan kerja keras pemerintah desa, Umbul Pelem kini menjelma menjadi destinasi wisata yang ramai pengunjung.
“Dulu, Umbul Pelem hanya ditanami tanaman cenil. Sekarang, sudah menjadi tempat wisata yang modern dengan fasilitas yang lengkap. Pendapatan dari wisata ini sangat signifikan dan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan warga,” jelas Iwan.
Lebih dari Sekadar THR
Selain THR, Pemdes Wunut juga memberikan berbagai fasilitas dan program kesejahteraan lainnya kepada warganya, seperti:
- BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan: Seluruh warga Desa Wunut sudah tercover BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
- Zakat: Pemdes menyalurkan zakat kepada warga kurang mampu.
- Air bersih: Pemdes menyediakan air bersih dengan tarif yang sangat murah.
Warga Merasa Terbantu
Program-program yang dilakukan oleh Pemdes Wunut mendapat apresiasi yang tinggi dari warganya. Banyak warga yang merasa terbantu dan sejahtera dengan adanya program-program tersebut.
“Saya sangat bersyukur dengan adanya program THR ini. Uang ini sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujar Syamsul Bahri, salah seorang warga.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.