TV Desa – Malang : Walaupun Didit Puji Leksono masih 26 tahun, pemuda yang tinggal di RT 17, RW 03, Desa Srigonco, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang ini, tak ragu menjadi peternak kambing dan domba profesional.
“Saya menjadi peternak sejak tahun 2019. Saya ingin memajukan desa dan memberdayakan warga,” tukas Didit Puji Leksono, mengawali kisahnya, Minggu (24/10/2021).
Peternakan yang dikelola Didit, sekarang mempunya 60 ekor kambing jawa dan domba ekor tipis. Rojo koyo tersebut, sehari-harinya, diberi makanan konsentrat dan silase. Strategi penjualan secara online untuk aqiqoh, dipasarkan untuk mensupply kebutuhan di wilayah lokal.
“Saya ingin mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari selama di SMK Peternakan dan Universitas serta menciptakan peluang usaha di bidang peternakan,” paparnya menjelaskan alasan dan tujuan menjadi peternak.
Didit meneglola tempat peternakan yang ia kelola dan diberi nama Waskito Farm, lengkap dengan produk konsentrat dinamakan Waskito Feed. Untuk pakan konsentrat kemasan 50 kg harga dibanderol Rp 180 ribu per sak. Sementara untuk harga domba ditimbang per kilo Rp 70 ribu. Sementara kalau harga kambing bervariasi, dari harga mulai Rp 2,5 juta. Sedangkan Domba harganya Rp 70 ribu/kg.
“Dikala pandemi peternakan kambing dan domba saya Alhamdulillah tetap stabil walaupun ada sedikit penurunan penjualan. Untuk penjualan, turun 10 persen,‘ terang Didit.
Ia mengungkapkan dirinya sudah berpartisipasi memberdayakan warga. Alhamduliah sudah bisa membantu antar peternak desa dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar khususnya pemuda sebanyak 7 orang,” pungkasnya.
Desa Srigonco yang terletak di Kecamatan Bantur Kabupaten Malang, tepatnya berada di 54 km arah selatan dari pusat Kota Malang. Memiliki luas wilayah sebesar 811,9 HA dengan jumlah penduduk sebanyak 5.651 orang. Desa Srigonco terdiri dari 3 dusun yaitu dusun krajan, dusun sumber jambe dan dusun watu sigar, sebagian besar penduduknya bermatapencaharian dengan bercocok tanam, bertani palawija dan persawahan.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.