TV Desa – Sabang : Potensi dan daya tarik wisata desa-desa di Sabang, harus dikelola dengan baik oleh masyarakat guna menciptakan desa wisata yang mandiri.
“Untuk mengembangkan desa wisata diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang andal sehingga desa wisata dapat menjadi solusi dalam pemberdayaan masyarakat, yang imbasnya akan meningkatkan perekonomian masyarakat desa,” kata Faisal, Kepala Dispar Sabang, saat membuka pelatihan pengelolaan wisata pedesaan di Sabang, Kamis (28/10/2021) di Sabang, dilansir Antara.
Hal tersebut melatari Dinas Pariwisata (Dispar) Kota Sabang, Aceh, untuk meminta setiap desa atau gampong di daerah paling barat Indonesia itu, memiliki pemandu wisata sebagai upaya menciptakan desa yang mandiri dalam pengembangan potensi pariwisata. Salah satu upaya itu, katanya, dengan mendorong setiap desa wisata memiliki pemandu wisata.
“Jika semua perangkat gampong terlibat, ini akan mampu meningkatkan dan mengembangkan manajemen rencana pengelola potensi-potensi yang ada di setiap gampong,” kata Faisal.
Dia mengatakan semua perangkat gampong harus terlibat dalam perencanaan pengembangan potensi setiap desa untuk memberikan jaminan pelayanan desa wisata yang berkelanjutan terhadap wisatawan lokal maupun mancanegara.
Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata Sabang Soffa Dewi Yohanna mengatakan tujuan pelatihan pengelolaan wisata pedesaan tersebut untuk mengembangkan kekuatan, daya, potensi, dan SDM agar mampu mengembangkan pengelolaan gampong sebagai desa wisata.
Melalui pelatihan tersebut, Dispar Kota Sabang ingin memotivasi dan memberikan pemahaman kepada pemuda Kota Sabang agar mampu mengelola dan mengetahui cara pengelolaan pariwisata pedesaan di daerah itu.
“Sehingga segala potensi yang ada dapat membangkitkan desanya menjadi desa wisata dan dapat meningkatkan perekonomian Kota Sabang,” kata dia.
Acara tersebut berlangsung selama tiga hari, sejak 28 Oktober 2021. Pelatihan pengelolaan wisata pedesaan itu diikuti 25 peserta yang mewakili setiap gampong di Pulau Weh tersebut.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.