Oleh: Reki Fahlevi
Dalam beberapa tahun terakhir, data telah menjadi elemen utama dalam pengambilan keputusan pemerintah, termasuk dalam pembangunan desa. Data dianggap sebagai alat yang efektif untuk mengukur keberhasilan program, menyusun kebijakan, dan mengevaluasi kinerja. Namun, ada sisi gelap dari dominasi data. Ketika perhatian terlalu terpusat pada penyusunan data administratif yang rapi, fakta dan kebutuhan nyata di lapangan sering kali terabaikan.
Dominasi data menciptakan budaya kerja “yang penting memenuhi format pelaporan”, bukan memperhatikan kualitas nyata dari hasil pembangunan. Desa-desa dipaksa untuk mengejar target administratif, seperti melaporkan jumlah fasilitas yang dibangun atau jumlah program yang dilaksanakan. Padahal, banyak dari laporan ini hanya berorientasi pada kuantitas, bukan pada dampaknya terhadap masyarakat.
Akibatnya, fakta-fakta riil sering kali tersisih dari perhatian. Misalnya, sebuah jalan desa yang dilaporkan “telah dibangun” mungkin hanya bertahan beberapa bulan karena kualitas konstruksinya buruk. Namun, dalam data laporan, jalan tersebut dicatat sebagai prestasi pembangunan tanpa memperhatikan manfaat jangka panjangnya. Situasi ini mencerminkan bagaimana data lebih sering digunakan untuk menutupi kegagalan dari pada memecahkan masalah.
Fenomena ini diperburuk oleh kurangnya validasi terhadap data yang dilaporkan. Proses verifikasi sering kali hanya bersifat formal. Data yang dilaporkan sering kali hanya mencerminkan harapan atau asumsi, bukan kondisi riil. Hal ini berisiko menyebabkan kebijakan yang diambil menjadi tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Dominasi data juga menciptakan ilusi kemajuan. Ketika laporan menunjukkan angka-angka yang positif, pemerintah cenderung merasa puas dan mengklaim keberhasilan, meskipun kondisi lapangan berkata sebaliknya. Ini menciptakan disonansi antara persepsi keberhasilan dan realitas di desa-desa yang masih bergulat dengan persoalan mendasar.
Selain itu, budaya “asal data beres” ini mendorong praktik manipulasi data. Demi memenuhi target administratif, ada pihak-pihak yang tergoda untuk memanipulasi atau merekayasa laporan. Akibatnya, data yang dihasilkan tidak hanya kehilangan akurasi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Namun, tidak semua pihak menyerah pada tekanan. Beberapa desa dan pemimpin lokal berusaha untuk tetap fokus pada kualitas pembangunan, meskipun harus menghadapi hambatan administratif. Mereka berani mengkritisi sistem yang ada dan mengutamakan kebutuhan masyarakat di atas tuntutan laporan.
Solusi terhadap masalah ini memerlukan perubahan paradigma. Data seharusnya menjadi alat untuk memahami realitas, bukan menggantikannya. Pemerintah perlu menekankan pentingnya validasi data yang rutin dan melibatkan partisipasi masyarakat.
Peningkatan transparansi juga penting. Proses pengumpulan dan analisis data harus terbuka untuk diawasi. Dengan begitu, manipulasi data dapat diminimalkan, dan kepercayaan terhadap sistem dapat dipulihkan.
Pada akhirnya, pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Angka-angka dalam laporan hanya memiliki arti jika mereka mencerminkan perbaikan nyata dalam kualitas hidup. Jika data dan fakta di lapangan dapat berjalan selaras, barulah kita dapat membangun desa-desa yang benar-benar berdaya dan sejahtera.
Dominasi data bukanlah sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Ia adalah pilihan sistem dan kebijakan. Dengan komitmen bersama untuk mengutamakan kualitas di atas kuantitas, kita dapat mengakhiri dominasi data yang abai terhadap realitas, dan menciptakan sistem pembangunan yang lebih adil dan manusiawi. (*)
Lampung, Indonesia.