TVDesa – Barito Selatan : Setelah penundaan yang cukup panjang akibat pandemi Covid-19, pemilihan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Kabupaten Barito Selatan (Barsel) akhirnya akan segera dilaksanakan. Proses demokrasi di tingkat desa ini dijadwalkan berlangsung mulai Februari hingga Maret 2022.
Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Masyarakat, dan Desa (DSPMD) Barsel, Selviriyatmi, melalui Kepala Bidang Administrasi Pemerintahan Desa dan Kelembagaan, Juharnita, menyampaikan bahwa pemilihan BPD kali ini akan dilakukan secara bertahap. Meskipun demikian, karena adanya penundaan yang hampir bersamaan di seluruh desa, maka pelaksanaan pemilihan seolah-olah serentak.
“Pemilihan BPD ini akan menggunakan dua mekanisme, yakni pemilihan langsung yang sesuai dengan arahan Kementerian Desa,” ungkap Juharnita saat ditemui di kantornya, Jumat (11/2/2022).
Lebih lanjut, Juharnita menjelaskan bahwa pihaknya telah menyiapkan segala sesuatunya untuk memastikan kelancaran proses pemilihan. Bahkan, DSPMD Barsel telah melakukan asistensi ke setiap kecamatan untuk memberikan pemahaman dan dukungan kepada pemerintah desa dalam melaksanakan tugasnya.
“Kami telah menyurati seluruh kecamatan agar segera meneruskan informasi ini ke desa-desa. Pemerintah desa selanjutnya akan menentukan tanggal pelaksanaan pemilihan yang paling sesuai dengan kondisi masing-masing,” imbuhnya.
Tantangan dan Harapan
Meskipun pelaksanaan pemilihan BPD ini sudah di depan mata, namun tetap ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah memastikan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi ini. Oleh karena itu, diharapkan seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah desa, tokoh masyarakat, maupun masyarakat umum, dapat berperan aktif dalam menyukseskan pemilihan BPD.
“Kami berharap pemilihan BPD ini dapat berjalan dengan lancar, demokratis, dan menghasilkan anggota BPD yang berkualitas. Semoga BPD terpilih nantinya dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik untuk memajukan desa,” pungkas Juharnita.

Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.