TVDesa – Bojonegoro : Dalam upaya mewujudkan Kabupaten Bojonegoro yang lebih sehat dan mandiri, Forum Kabupaten Sehat (FKS) Bojonegoro secara intensif melakukan monitoring terhadap tujuh kelompok kerja (pokja) desa. Kegiatan ini dilaksanakan pada periode Senin hingga Kamis (28-31/3/2022) di 12 desa yang tersebar di 9 kecamatan.
Koordinator Tim FKS Kabupaten Bojonegoro, M. Soleh, menjelaskan bahwa monitoring ini bertujuan untuk melihat secara langsung potensi yang dimiliki oleh masing-masing desa serta mendorong terwujudnya tujuh tatanan menuju kabupaten sehat. Tatanan tersebut mencakup kawasan pemukiman, sarana dan prasarana umum, lalu lintas, industri dan perkantoran, pariwisata, ketahanan pangan dan gizi, serta kehidupan masyarakat yang sehat dan mandiri.
“Monitoring ini merupakan tindak lanjut dari koordinasi yang telah dilakukan dengan Forum Komunikasi Kecamatan Sehat (FKKS) di masing-masing kecamatan,” ujar Soleh.
Lebih lanjut, Soleh menjelaskan bahwa melalui monitoring ini, FKS dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada desa-desa yang dikunjungi. Hal ini diharapkan dapat membantu desa-desa tersebut dalam mengembangkan potensi yang ada dan memenuhi indikator kabupaten sehat.
“Kami berharap dengan adanya monitoring ini, desa-desa di Bojonegoro dapat semakin maju dan masyarakatnya dapat hidup lebih sehat dan sejahtera,” imbuhnya.
Beragam Potensi Desa
Dalam monitoring yang dilakukan, FKS menemukan beragam potensi yang dimiliki oleh desa-desa di Bojonegoro. Misalnya, Desa Mojodelik Kecamatan Gayam dan Desa/Kecamatan Purwosari memiliki potensi yang besar dalam pengembangan kawasan wisata sehat. Sementara itu, Desa Bungur dan Desa Tejo Kecamatan Kanor fokus pada peningkatan ketahanan pangan dan gizi.
Desa-desa lainnya seperti Plesungan dan Mojodeso Kecamatan Kapas tengah berupaya mewujudkan kehidupan masyarakat yang mandiri, sedangkan Desa Sukorejo dan Desa Kauman Kecamatan/Kabupaten Bojonegoro fokus pada penataan lalu lintas dan pelayanan transportasi.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.