TV Desa – Tabalong : Tiga dari 64 desa di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) yang melaksanakan Pemungutan suara pemilihan kepala desa (pilkades) serentak, menggunakan metode berbeda. Adalah Desa Maburai Kecamatan Murung Pudak, Desa Warukin Kecamatan Tanta dan Desa Wayau Kecamatan Tanjung, yang menggunakan metode e-Voting.
“E-voting lebih baik daripada pemungutan suara biasa, karena lebih jelas, lebih akurat dan pemilihannya tidak ada kesalahan kalau seperti dulu bisa ada kesalahan, kerusakan, coblosan yang rusak, kalau inikan langsung,” ujar Herliansyah, warga Desa Maburai RT 01 yang masuk sebagai pemilih di TPS 1 Desa Maburai, Sabtu (6/11/2021).
Menurutnya dengan cara e-voting hasil yang didapatkan juga jelas sehingga menutup kemungkinan adanya manipulasi dari hasil suara yang ada. Selain itu diakuinya meski ini baru pertama kalinya menggunakan hak suara dalam pilkades dengan cara evoting, dirinya tidak ada sama sekali menemui kendala.
“Cepat sekali prosesnya enak dari pada yang biasa, sebelumnya kita tidak pernah lakukan e-voting seperti ini, cuman manual aja dulu. Jadi ada e-voting ini merasa terbantu, paling lama dua menit, satu menit juga selesai,” ungkap Herliansyah.
Penggunaan metode e-voting di 3 desa itu terdapat di 15 Tempat Pemungutan Suara (TPS), dimana untuk Desa Maburai ada 5 TPS, Desa Kapar ada 7 TPS dan Desa Masukau ada 3 TPS. Berdasarkan keterangan perwakilan dari Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) Kabupaten Tabalong, diketahui bahwa belum meratanya penggunaan metode e-voting dalam pilkades ini karena keterbatasan peralatan.
Dari 121 desa yang ada di 12 kecamatan di Kabupaten Tabalong, 64 desa diantaranya yang melakukan pilkades serentak kali ini. Secara total terdapat 230 calon kepala desa (Cakades), terdiri dari 216 laki-laki dan 14 perempuan, yang mengikuti pilkades di daerah masing-masing. Adapun berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) jumlah pemilih sebanyak 69.890 orang, yang tersebar di 185 TPS.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.