TVDesa – Batu : Di tengah kenaikan harga pangan yang mulai terasa, hadirnya pasar murah di Rest Area Sidomulyo, Kota Batu, bagaikan oase di tengah gurun. Selasa (24/9), Pemerintah Kota Batu, bersama Badan Pangan Nasional, menggelar Gerakan Pangan Murah yang langsung disambut antusias oleh warga.
Bayangkan, di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, warga bisa bernapas lega karena bisa membeli beras, gula, minyak goreng, telur, dan bahan pokok lainnya dengan harga yang lebih terjangkau. Wajah sumringah terlihat di setiap wajah pengunjung pasar murah ini.
Pj. Wali Kota Batu, Aries Agung Paewai, yang turut hadir dalam acara tersebut, mengungkapkan rasa syukurnya. “Ini adalah bentuk nyata kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu,” ujarnya.
Bukan hanya menyediakan bahan pokok dengan harga murah, pasar murah ini juga menjadi wadah bagi para petani dan pelaku UMKM lokal untuk memasarkan produknya. Para ibu-ibu dari Kelompok Wanita Tani (KWT) terlihat sibuk menawarkan aneka olahan hasil pertanian dengan kualitas terbaik.
“Ini momen yang sangat berharga bagi kami,” ujar Bu Sri, salah satu anggota KWT. “Selain bisa menjual hasil pertanian, kami juga bisa berinteraksi langsung dengan konsumen.”
Lebih lanjut, Pj. Wali Kota Batu juga memberikan subsidi untuk pembelian telur dan membeli produk UMKM dari KWT. Bantuan ini kemudian dibagikan kepada warga yang membutuhkan, terutama bagi mereka yang tinggal di Desa Sidomulyo.
“Kami ingin memastikan bahwa seluruh warga, tanpa terkecuali, bisa merasakan manfaat dari program ini,” tambah Aries.
Gerakan Pangan Murah ini bukan sekadar pasar murah biasa. Ini adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga stabilitas harga pangan, dan memberdayakan ekonomi lokal. Dengan adanya program seperti ini, diharapkan masyarakat Kota Batu dapat hidup lebih layak dan sejahtera.

Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.