TVDesa – Bengkulu : Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, kembali menegaskan pentingnya penggunaan 40% Dana Desa (DD) untuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dalam Rapat Koordinasi Tim Pemulihan Ekonomi, Evaluasi Pelaksanaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) & Usulan Investasi Daerah Lingkup Wilayah Provinsi Bengkulu, pada 20 Januari 2022, Rohidin memberikan peringatan tegas kepada seluruh kepala daerah.
“Saya ingatkan kembali, penggunaan 40% Dana Desa harus benar-benar dialokasikan untuk BLT. Jika ada yang tidak mematuhi, saya tidak segan-segan mengambil alih pengelolaan dana tersebut dan memindahkannya ke desa lain,” tegas Gubernur Rohidin.
Menurut Gubernur, BLT tidak hanya berfungsi sebagai upaya penanganan kemiskinan, tetapi juga sebagai stimulus untuk mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. Kebijakan ini, lanjutnya, merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam membantu masyarakat kurang mampu di desa.
Alokasi Dana Desa Sesuai Perpres
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022 telah mengatur secara jelas alokasi Dana Desa. Selain 40% untuk BLT, 30% dialokasikan untuk program ketahanan pangan dan hewani, 8% untuk penanganan COVID-19, dan sisanya untuk program prioritas lainnya.
Serapan Anggaran Harus Dilakukan di Awal Tahun
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Bengkulu, Syarwan, mengapresiasi realisasi TKDD Provinsi Bengkulu yang telah mencapai 100%. Namun, ia mengingatkan pentingnya percepatan penyerapan anggaran di awal tahun.
“Penyerapan anggaran yang terlambat akan mengurangi efektivitas program. Kita perlu belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya di mana penyerapan anggaran seringkali terkonsentrasi di akhir tahun,” ujar Syarwan.
Syarwan berharap, dengan penyerapan anggaran yang lebih cepat, maka dampak positif dari APBN dan APBD dapat segera dirasakan oleh masyarakat. Ia menargetkan agar pada triwulan pertama tahun ini, penyerapan anggaran dapat mencapai minimal 30%.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.