TV Desa – Bone Bolango : Bupati Bone Bolango, Hamim Pou, merasakan perlunya memperkuat 3 desa digital yang sudah eksis di wilayahnya.
“Desa digital yang sudah eksis perlu didukung juga dengan anggaran,” kata Hamim, saat pertemuan bersama Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo dan Diskominfotik Provinsi Gorontalo, di rumah pribadi bupati, Rabu (29/9/21).
Menurut Hamim, perlu dukungan bersama untuk membuat desa digital ini terus eksis. Saat ini, dari 5 desa digital yang sudah eksis di Provinsi Gorontalo, 3 diantaranya berada di Kabupaten Bone Bolango. Ketiga desa digital Bone Bolango yaitu Desa Lamahu, Desa Tanggilingo, dan Desa Toto Utara.
Fasilitas internet berupa jaringan wifi pun tak main-main. Terdapat hampir 400 titik wifi yang tersebar di seluruh Bone Bolango. Demikian juga layanan publik melalui digitalisasi yang mencapai 256 layanan.
“Perlu dukungan, tidak boleh berdiri sendiri, lewat kebijakan atau lewat kolaborasi. Bagaimana berkolaborasi agar digitalisasi ini berjalan secara maksimal. Kalau kabupaten bagus, akan membawa nama harum provinsi,” tandas Hamim.
Sementara itu Ketua Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo, A.W. Thalib, mengatakan digitalisasi desa ini untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, sehingga perlu kolaborasi yang lebih mantap.
“Mudah-mudahan kolaborasi dapat lebih ditingkatkan. Digitalisasi ini benar-benar untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, dan rakyat pun menikmati dengan mengundang investor,” urai A.W. Thalib.
Ketua Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo dalam kesempatan itu mengakui kehebatan Bone Bolango sebagai pelopor desa digital pertama di Provinsi Gorontalo melalui desa Lamahu.
Desa Lamahu, Kecamatan Bulango Selatan, Bone Bolango, Gorontalo, merupakan desa pertama di Indonesia yang mengembangkan sekaligus mewujudnyatakan konsep Command Center dalam spektrum kedesaan berbasis Android. Command Center tersebut, ditunjang dengan 32 tiang cerdas atau smart pole dengan dilengkapi CCTV, WI-FI, lampu otomatis, serta sensor cahaya dan gerak. Seluruh smart pole dipasang di sembilan titik pada kawasan pinggiran desa dan 23 titik lagi di permukiman rumah warga serta lahan pertanian.

Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.