Upaya Mengembalikan Nilai Demokrasi Sebagai Prinsip Bernegara
Oleh: Setiyo Haryono*
TVDesaNews.Id: Kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) yang berlangsung lima tahunan cukup memberikan satu fakta yang memprihatinkan, pasalnya pasca reformasi pemilu diselenggarakan secara langsung, dimana masyarakat diberi wewenang untuk memilih calon legislatif dan presiden. Tentunya hal itu memiliki dua implikasi yang berbeda.
Secara proses, rakyat diuntungkan karena tidak menggunakan sistem keterwakilan suara seperti era Orde baru. Sehingga kehendak rakyat bisa tersalurkan sesuai hati nuraninya. Pemilu Langsung berjalan kurang lebih 4 kali sejak tahun 1999, dimana rakyat diberi keleluasaan untuk menggunakan hak pilihnya.
Sementara disisi lain, justru praktik pemilu langsung menjadi momentum untuk membelokkan azas demokrasi itu sendiri, ketika tidak diimbangi dengan pemahaman politik oleh masyarakat. Dimana para kontestan pemilu secara massive melakukan upaya propaganda dengan isue-isue yang tidak mencerdaskan. Seperti isue SARA dan sentimen kelompok, yang justru mendistorsi tujuan dari pemilu itu sendiri.
Fenomena tersebut dapat dilihat ketika menjelang pemilu presiden atau legislatif, masing-masing kubu saling serang di Dunia Maya , yang kemudian melambungkan trending di Twitter atau platform media sosial lainnya, yang dengannya ikatan persatuan bangsa menjadi hilang makna. Dan saat ini menjelang pemilu 2024, praktik tersebut terjadi lagi.
Dalam kasus lain, pemilu disalahgunakan oleh kontestan untuk mengeksploitasi suara rakyat seperti barang dagangan, dengan membeli suara. Yang menurut Michelle Foucoult (filsuf Perancis) dalam bukunya cenderung menjadikan kekuasaan sebagai lahan korupsi.
Menurutnya, tulisan tentang kekuasaan sangat banyak namun hanya sedikit saja yang bisa diketahui. Ilmu sejarah misalnya, sering berbicara tentang kekuasaan tetapi terutama membahas tentang orang-orang yang berkuasa seperti raja-raja, panglima-panglima, atau lembaga-lembaga yang memiliki kuasa seperti negara, parlemen, dan gereja. Hal ini mendorong Foucault untuk kemudian membahas kekuasaan dalam perspektif yang baru.
Bentuk kekuasaan seringkali diilustrasikan dengan piramida di mana raja pada bagian atas, pelayan raja di bagian tengah, dan rakyat paling bawah.
Kembali pada persoalan pemilu di Indonesia, makin hari makin jauh dari tujuan demokrasi sebagai prinsip nilai bernegara. Hal itu terjadi Karena pemilu telah dimanfaatkan sebagai media transaksional.
Minimnya pemahaman dan kesadaran akan pemaknaan pemilu sebagai media demokrasi. Menjadi masalah serius bangsa Indonesia saat ini. Atau lebih tepatnya minimnya kecerdasan politik warga (politics Quotient). Sehingga rakyat mudah dimanipulasi dengan pelbagai modus politik.
Lantas, sampai kapan Indonesia akan terjebak dalam konflik dan pragmatisme politik hingga melupakan tujuan Demokrasi atau pemilu itu sendiri? Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan, bahwa masyarakat kita (Indonesia) butuh pendidikan politik. Artinya, kita yang peduli perlu memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan mereka.
Sudah seharusnya bagi para kontestan pemilu ,wabil khusus para caleg pada semua tingkatan, mesti melakukan upaya pendidikan politik warga. Sehingga mereka lebih paham tujuan politik lewat pemilu. Setidaknya tidak melakukan praktik Money Politic.
Maka langkah awal yang harus ditempuh adalah menyadarkan masyarakat agar tidak terjebak pada pragmatisme politik. Pertanyaannya, bagaimana jika hal itu sudah menjadi cultur masyarakat? Apakah bisa?
Maka dengan tegas saya katakan, sangat bisa dilakukan dengan syarat kita bersama-sama memiliki komitmen dan upaya untuk merubahnya, diawali dengan pendidikan politik warga.
*Penulis adalah aktivis Ikatan Alumni PMII, Ketua GRANAT Purbalingga, Dan penggiat Literasi dan Pendamping Desa
Suka baca , sastra dan berdesa
Berdesa sepenuh rasa dengan segala upaya untuk Indonesia bahagia