TVDesa – Gunung Mas : Dalam kesibukannya membangun desa bersama masyarakat, Pratu Irwan Yongki Priambodo, seorang prajurit TNI yang tergabung dalam Tim Manunggal Membangun Desa (TMMD) Reguler ke-112 tahun 2021, Kodim 1016 Palangka Raya, menyempatkan diri untuk belajar menoreh karet. Dengan penuh semangat, ia mengikuti arahan Kakek Nunung, seorang petani karet setempat yang sudah menjadi sahabatnya selama TMMD berlangsung.
“Saya sangat penasaran dengan cara menoreh karet yang benar. Kakek Nunung sangat sabar mengajari saya, mulai dari cara mengiris pohon karet hingga menampung getahnya,” ujar Pratu Irwan.
Kegiatan TMMD tidak hanya sekadar membangun infrastruktur fisik, tetapi juga mempererat hubungan antara TNI dengan masyarakat. Pratu Irwan dan prajurit lainnya aktif berinteraksi dengan warga desa, salah satunya dengan belajar keterampilan bertani dari para petani berpengalaman.
Kakek Nunung mengaku senang dengan kehadiran para prajurit TNI di desanya. “Mereka anak-anak muda yang ramah dan suka menolong. Saya merasa aman dan nyaman dengan kehadiran mereka,” ungkapnya.
Sinergi TNI dan Pemerintah Daerah
Program TMMD yang digagas oleh Kodam XII/Tanjungpura ini merupakan bentuk sinergi antara TNI dengan pemerintah daerah dalam upaya membangun daerah. Selain pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya, TMMD juga fokus pada pembangunan nonfisik melalui berbagai kegiatan penyuluhan dan sosialisasi.
“TMMD tidak hanya membangun desa, tetapi juga membangun karakter masyarakat. Kami berharap melalui TMMD, semangat gotong royong dan kesadaran akan pentingnya pembangunan dapat tumbuh di masyarakat,” ujar salah seorang perwira TNI yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Sasaran TMMD
TMMD Reguler ke-112 tahun 2021 di wilayah Kodam XII/Tanjungpura menyasar beberapa desa di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Di antaranya Desa Riam Bunut, Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang, Kalbar; Desa Ampar Bedang, Kecamatan Binjai Hulu, Kabupaten Sintang; dan Kelurahan Kampuri, Kecamatan Mihing Raya, Kabupaten Gunung Mas.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.