TV Desa – Kepahiang : Komunitas wisata di Kepahiang boleh bernafas lega, setelah sejumlah desa, mendapatkan pengakuan formal melalui Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga.
“Dari 17 desa yang diSK-kan menjadi desa wisata itu, baru 16 desa yang melengkapi administrasi. Ditetapkannya menjadi desa wisata karena memiliki potensi objek wisata,” papar Teddy Adeba, ST, kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Perpusda) Kabupaten Kepahiang, 3/9/2021, seperti dilansir dari Bengkulutoday.
Penetapan 17 desa yang tersebar pada 8 kecamatan menjadi desa wisata di Kepahiang melalui Surat Keputusan (SK) tentang desa wisata tersebut, dikarenakan desa-desa tersebut memiliki berbagai potensi objek wisata, baik objek wisata baru maupun lama.
Dikatakan Teddy, bahwa dengan ditetapkannya belasan desa wisata di Kabupaten Kepahiang, objek di desa tersebut dapat menjadi tujuan wisata bagi wisatawan domestik ataupun luar daerah. Sehingga nantinya bisa menjadi pendapatan asli daerah atau pendapatan asli desa.
“Belasan desa wisata ini memiliki potensi wisata berbeda-beda seperti wisata alam, wisata budaya dan ada juga wisata buatan. Setelah diSKkan ini disampaikan ke Provinsi, yang nantinya bisa mengikuti perlombaan dan bentuk dukungan lain,” jelas Teddy.
Dilansir dari berbagai sumber, Kepahiang menyimpan banyak potensi wisata unggulan. Ada perkebunan Kabawetan yang bisa disebut sebagai objek wisata andalan, dan sejumlah air terjun yang tersebar di berbagai titik, salah satunya air terjun Sengkuang.
Selain objek wisata yang sudah terkenal, di Kabupaten yang berbatasan dengan Rejang Lebong dan Bengkulu Tengah itu juga memiliki potensi wisata yang belum terjamah, seperti pemandian air panas di kaki Bukit Hitam. Tak hanya sumber daya alam yang indah namun juga olahan kuliner yang dibuat oleh masyarkat setempat, seperti aneka olahan susu, kopi luwak dan beberapa makanan ringan.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.