TV Desa – Bandung : Peristiwa unik terkait nama Dadang, terjadi di Kabupaten Bandung, manakala seorang kepala desa terpilih bernama Dadang, dilantik dan diambil sumpahnya oleh Bupati yang juga bernama Dadang. Untungnya, nama panjangan mereka berbeda, yang satu Silahudin, satu lagi Supriatna.
Dadang yang Silahudin inilah, yang mendapat tampuk kepercayaan memegang jabatan sebagai kepala desa Cibiruhilir, Kecamatan Cileunyi, setelah sebelumnya, dilantik dan diambil sumpahnya oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna, Kamis, 28 Oktober 2021.
Jabatan Kepala Desa Cibiruhilir, resmi diduduki Dadang Silahudin, setelah gelar serah terima jabatan (sertijab) dari Pj. Kades Cibiruhilir, Asep Rusdan di GOR Desa Cibiruhilir, Jumat, 29 Oktober 2021. Serijab yang digelar di BPD Cibiruhir ini, resmi mengantarkan Dadang Silahudin menduduki kursi Kades Cibiruhilir periode 2021-2027.
Sertijab dihadiri jajaran Forkopimcam Cileunyi di antaranya Camat Solihin, Kapolsek Kompol Wahyo, Danramil Kapten (Inf) Mamat Raidin, Panwas Pilkades Cibiruhilir dan Cinunuk Yulili Rusmawandi, Ketua P2KD Uu Wahyudin, lembaga desa dan para Ketua RW. Termasuk sejumlah calon kades yang kalah bersaing dengan Dadang pun turut hadir.
Dadang terpilih jadi Kades Cibiru pada gelaran pilkades serentak 20 Oktober lalu bersama 48 desa lainnya di Kabupaten Bandung.
Saat memberikan sambutannya, baik Camat Cileunyi Solihin, Kades Cibiruhilir definitif Dadang Silahudin ataupun Pj. Kades Cibiruhilir senada jika perhelatan pilkades Cibiruhilir di tengah pandemi Covid-19 aman, lancar, sukses dan sehat.
“Sebenarnya di ajang pilkades Cibiruhilir tidak ada yang kalah. Kemenangan Dadang di pilkades Cibiruhilir kemenangan seluruh warga Desa Cibiruhilir,” ujar Solihin.
“Mari kita bersatu bahu membahu membangun Desa Cibiruhilir ke dapan. Kita ucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga pilkades Cibiruhilir aman, lancan, sukses tanpa ekses dan sehat,” lanjutnya.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.
