TV Desa – Bandung : Sudah hampir tiga pekan ini ratusan warga di Kampug Gugunungan RW 03 Desa Neglasari Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung, mulai memanfaatkan IPAL komunal untuk sanitasi lingkungan, di antaranya untuk pengolahan limbah domestik rumah tangga.
“Masyarakat tak buang lagi limbah domestik rumah tangga ke selokan atau sungai, setelah ada pembangunan IPAL komunal ini,” kata H. Asep Zaenal Malik Ibrahim, Kepala Desa Neglasari, Rabu (20/10/2021).
Menurut Asep, pembangunan IPAL komunal tersebut, atas usulan dari aparatur Desa Neglasari ke pemerintahan Provinsi Jabar, setelah pemerintah fokus pada penanganan limbah domestik yang berpotensi dapat mencemari daerah aliran Sungai Citarum.
Asep mengatakan, limbah domestik yang berasal dari rumah tangga masing-masing langsung dibuang ke IPAL komunal.
“Di setiap WC yang ada di rumah masing-masing pun ada bak kontrolnya. Bak kontrol itu untuk pemeliharaan dan mengantisipasi penyumbatan saluran pembuangan limbah domestik,” katanya.
Dikatakannya, pembangunan IPAL komunal itu melibatkan masyarakat yang merupakan bagian dari pemberdayaan warga setempat.
“Walau sudah diujicoba selama tiga minggu ini, pembangunannya baru mencapai 95 persen. Sebab, masih melakukan pengerjaan atap atau kanopi, karena pembangunannya di ruang terbuka supaya tidak kena hujan dan sinar matahari,” tutur Asep.
Ia mengungkapkan lebih dari 50 KK membuang limbah domestik ke IPAL komunal tersebut. Sebelumnya, warga membuang limbah domestik ke selokan besar yang ada di sekitar pembangunan IPAL tersebut.
“Melihat kondisi seperti itu, Satgas Citarum Harum bersama aparatur desa menindaklanjuti persoalan itu untuk mengusulkan pembangunan IPAL komunal. Pembangunan IPAL komunal itu, setelah sebelumnya pemerintah gencar penanganan lingkungan dengan sasaran desa yang sanitasinya kurang bagus,” katanya
Kepala Desa Neglasari mengapresiasi jajaran Satgas Citarum Harum yang sudah menginisiasi pembangunan IPAL komunal di desa-desa yang berada di bantaran Sungai Citarum, di antaranya di Desa Neglasari tersebut.

Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.