TVDesa – Rembang : Kementerian Kelautan dan Perikanan terus menyiapkan pembangunan Kampung Nelayan Modern atau Kalamo Pasarbanggi, di Desa Pasarbanggi, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang. Tempat itu nantinya diproyeksi menjadi pelabuhan terintegrasi.
Hal tersebut disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Sakti Wahyu Trenggono, didampingi Bupati Abdul Hafidz, saat kunjungan kerja di Rembang, Sabtu (30/3/2024). Kunjungannya ke kabupaten yang memiliki panjang pantai sekira 64 kilometer itu, untuk melihat langsung bagaimana kondisi nelayan di Pasarbanggi.
Menteri yang akrab disapa Trenggono ini menegaskan, kampung nelayan modern tersebut dibangun secara tematik, dan disesuaikan dengan lingkungan masyarakat di Desa Pasarbanggi.
“Pembangunan Kalamo itu tematik ya, disesuaikan dengan lingkungan di sini. Ke depannya kita rencanakan pembangunan pelabuhan terintegrasi,” imbuh Trenggono.
Dia berharap, rencana pembangunan Kalamo Pasarbanggi serta dukungan sarana prasarana nantinya, dapat mendorong kegiatan ekonomi untuk terus bergerak. Ikan-ikan segar hasil tangkapan nelayan dapat dijual dan dipasarkan langsung di sentra kuliner yang juga telah tersedia, sehingga kualitasnya terjaga.
Dalam kegiatan itu, Trenggono juga memberi sejumlah bantuan kepada perwakilan nelayan Desa Pasarbanggi. Di antaranya 50 unit bubu rajungan, serta 100 unit jaring insang.
Diharapkan, melalui pembangunan kampung nelayan modern di Desa Pasarbanggi, Rembang ini, dapat memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian nelayan, serta menciptakan masyarakat pesisir lebih produktif dan mandiri.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Tb Haeru Rahayu menambahkan, saat ini fasilitas yang akan dibangun di Kalamo Pasarbanggi Rembang di antaranya sentra pengolahan, sentra kuliner, bale nelayan, kios perbekalan, bengkel, docking, shelter pendaratan ikan, dan pabrik es atau cold storage.
Dia berpesan, agar fasilitas yang disediakan pemerintah itu nantinya harus digunakan dan dijaga dengan baik, oleh nelayan dan masyarakat sekitar.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.