TV Desa – Garut : Garut sedang mengujicoba sebuah strategi kolaborasi, yang dipercaya manjur dalam mengatasi beragam masalah yang acapkali muncul dalam pengembangan desa wisata.
“Program ini adalah untuk mengembangkan desa wisata dengan pendekatan pentahelix dalam rangka meningkatkan ekonomi daerah Kabupaten Garut,” papar Wawan Nurdin, leader project, sekaligus penggagas konsep “Ngumbara Lembur”.
Wawan Nurdin, yang juga staff ahli Bupati Garut, bidang pemerintahan, politik, dan hukum, berpendapat bahwa pendekatan pentahelix yang dilakukan dalam strategi “Ngumbara Lembur” ini untuk percepatan peningkatan ekonomi daerah melalui implementasi pengelolaan potensi wisata pada desa rintisan menuju “Desa Wisata Tangguh”.
“Ngumbara Lembur” resmi diluncurkan bersamaan dengan peresmian Desa Wisata Intan Dewata oleh Bupati Garut, Rudy Gunawan, Selasa (7/9/2021). Desa wisata tersebut berlokasi di Desa Mekarjaya, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut.
Program “Ngumbara Lembur”, memungkinkan desa dibantu oleh unsur pemerintahan, akademisi, pengusaha, media, dan unsur yang lainnya. Dari unsur pemerintahan, ada SKPD yang konsen dalam bidang jalan infrastuktur dan aksebilitas dari pemerintahan. Unsur akademisi, membantu masyarakat dalam mencerdaskan ataupun menyadarkan tentang pariwisata. Kemudian, ada pengusaha, yang menurut Wawan, akan bisa membantu desa dalam membangun pengembangan desa wisata.
Saat ini, pilot project program “Ngumbara Lembur”, dilaksanakan di lima desa, yakni Desa Mekarjaya, Jati, Pasawahan, Rancabango, dan Sukajadi. Adapun 5 desa tersebut adalah Desa Jati dengan tematik minawisata (wisata ikan), Desa Pasawahan dengan tematik pasar wisata desa, Desa Rancabango dengan tematik desa budaya yang dilengkapi kawasan rest area, Desa Mekarjaya dengan tematik desa wisata religi dan olahraga, serta Desa Sukajadi dengan tematik desa agrowisata yang juga memiliki Situ Ciburial yang akan dijadikan destinasi desa wisata andalan.
Wawan berharap dengan program “Ngumbara Lembur” ini pengelola desa wisata mampu ikut serta dalam mensejahterakan masyarakat, dan juga mampu meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes) itu sendiri.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.