TVDesa – Jakarta : Potensi desa wisata di Indonesia semakin menarik perhatian dunia. Untuk semakin mengoptimalkan potensi ini, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci utama. Hal ini ditegaskan oleh Deputi Bidang Sumber Daya dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Nia Niscaya.
“Desa wisata tidak bisa berdiri sendiri,” tegas Nia dalam acara “The Weekly Brief With Sandi Uno”. “Butuh sinergi yang kuat dari berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat.”
Sebagai bentuk dukungan terhadap pengembangan desa wisata, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) telah aktif membina 15 desa wisata Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) sejak tahun 2021. Beberapa desa wisata yang telah mendapatkan pendampingan dari BCA antara lain Desa Wisata Pecinan Glodok, Desa Wisata Saba Budaya Baduy, dan Desa Wisata Situs Gunung Padang.
“Angka 15 ini menunjukkan komitmen kuat BCA dalam mendukung pengembangan desa wisata di Indonesia,” tambah Nia.
Tidak berhenti sampai di situ, BCA juga membuka peluang bagi desa wisata binaannya untuk go internasional. Beberapa desa wisata bahkan akan diikutsertakan dalam ajang pariwisata bergengsi seperti ITB Berlin 2025. Selain itu, akses pasar untuk lima desa wisata juga telah diperluas melalui Bali Beyond Travel Fair.
“Ini membuktikan bahwa program ADWI tidak berhenti sampai di situ saja. Kami terus berupaya untuk mempromosikan dan membina desa wisata,” ujar Nia.
Kolaborasi dengan berbagai pihak juga terus dilakukan. Bersama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kemenparekraf tengah mengembangkan prakiraan cuaca berbasis dampak untuk mendukung kegiatan pariwisata di Labuan Bajo. Sementara itu, kerja sama dengan Grab menghadirkan fitur Pusat Keamanan dan Keselamatan yang dapat dimanfaatkan wisatawan saat terjadi kondisi darurat.
“Dengan berbagai upaya ini, kami berharap desa wisata di Indonesia semakin maju dan mampu bersaing di kancah global,” pungkas Nia.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.