TVDesa – Mojokerto : Desa Kebontunggul, Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto, sukses menyulap lahan kurang produktif menjadi destinasi wisata yang menjanjikan. Lembah Mbencirang, begitu nama objek wisata tersebut, kini menjadi primadona baru yang tidak hanya menyedot perhatian wisatawan, tetapi juga menjadi tulang punggung Pendapatan Asli Desa (PADes).
Kepala Desa Kebontunggul, Siandi, mengungkapkan bahwa ide mengembangkan Lembah Mbencirang muncul sejak tahun 2009. Saat itu, ia melihat potensi besar dari lahan seluas 3,5 hektare yang kurang produktif. Dengan semangat untuk memajukan desa, Siandi bersama warga berinisiatif mengubah lahan tersebut menjadi kawasan wisata yang menarik.
“Awalnya, lahan ini hanya menghasilkan sewa yang sangat kecil. Namun, dengan pengembangan menjadi objek wisata, kini Lembah Mbencirang memberikan kontribusi yang signifikan bagi PADes,” ujar Siandi.
Keberhasilan Lembah Mbencirang tidak lepas dari pengelolaan yang profesional dan berkelanjutan. Sebagian besar keuntungan dari wisata ini digunakan untuk pengembangan kawasan, seperti pemeliharaan fasilitas, peningkatan kualitas pelayanan, serta pemberdayaan masyarakat sekitar.
“Sekitar 15% dari keuntungan kita alokasikan untuk pengembangan wisata. Ini menunjukkan komitmen kami untuk terus meningkatkan kualitas Lembah Mbencirang,” tambah Siandi.
Salah satu kunci keberhasilan Lembah Mbencirang adalah melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan. Sebagian besar pekerja di kawasan wisata ini adalah warga Desa Kebontunggul. Hal ini tidak hanya memberikan lapangan pekerjaan bagi warga, tetapi juga meningkatkan rasa memiliki dan kepedulian terhadap keberlangsungan wisata tersebut.
Selain Lembah Mbencirang, Desa Kebontunggul juga mengembangkan berbagai usaha lainnya melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Gajah Mada, seperti unit simpan pinjam, PAMSIMAS, dan pertanian. Terbaru, BUMDes juga mengelola sebuah pertashop hasil kerja sama dengan PT Pertamina.
“Dengan diversifikasi usaha, kami berharap dapat meningkatkan pendapatan desa dan kesejahteraan masyarakat,” jelas Siandi.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.