Oleh :Riza Allatif
Behavioral Change Specialist P3PD RMC 6 Provinsi Lampung
TVDesa News – Indonesia dalam konsensus bernegara menempatkan diri sebagai sebuah negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Dalam konsep negara kesatuan dengan konstruksi tersebut, salah satu hal yang selalu menjadi sorotan adalah hubungan antara pusat dan daerah, khususnya mengenai persoalan keuangan. Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menegaskan bahwa:
“Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.”
Frase ‘adil dan selaras’ di atas merefleksikan konsep demokratis bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang membutuhkan keuangan harus didasari pada kepentingan di daerah sehingga dapat dilaksanakan secara proporsional dalam koridor negara kesatuan. Salah satu tujuan kemerdekaan dan hadirnya negara adalah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
UU Desa merupakan salah satu produk kebijakan strategis pemerintah yang memberikan jaminan bagi desa sebagai wilayah otonom untuk mengatur dan membangun desa. Atas dasar kebutuhan pengaturan mengenai pendirian badan usaha milik desa (BUMDes), maka pemerintah melakukan perubahan UU Desa melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja). Pada tahun 2024 inipun dilakukan perubahan lagi dengan munculnya Undang-Undangv Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
UU Desa yang dibentuk telah berusaha secara komprehensif memberikan panduan bagi desa dalam melaksanakan kewenangannya yang terdiri dari penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.
Salah satu point penting dalam perubahan Kedua UU Desa adalah terkait penegasan kembalidengan Mandatory Spending Alokasi Dana Desa.
Mandatory Spending adalah belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending ini adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.
Mandatory Spending dalam tata kelola keuangan pemerintah daerah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1).
2. Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji (UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan). Yang kemudian mandatory spending dihapus dalam UU Kesehatan yang baru, yaitu UU No 17/2023.
3. Dana Transfer Umum (DTU) diarahkan penggunaannya, yaitu paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antardaerah (UU APBN).
4. Alokasi dana Desa (ADD) paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa). Alokasi Dana Desa berubah porsinya menjadi paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. (UU Nomor 3 Tahun 2024 Pasal 72 ayat 4)
Perbandingan Alokasi Dana Desa menurut UU Nomor 6 tahun 2014 dengan UU Nomor 3 tahun 2024
UU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
DESA UU NOMOR 3 TAHUN 2024 TENTANG PERUBAHAN KEDUA UU NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
Pasal 72 ayat (4)
Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus Pasal 72 ayat (4)
Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pada Pasal diatas memberikan penjelasan bahwa besaran ADD meningkat dari setelah UU Nomor 3 ini diberlakukan. Bahkan pada ayat berikutnya disampaikan bahwa adanya Kepastian Penghasilan Tetap bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa Karena Alokasi Dana Desa (ADD) akan ditransfer langsung dari Rekening Pemerintah Pusat ke rekening desa. Dengan dittransfernya langsung dari rekeningb Pemerintah Pusat Ke rekening Pemerintah Desa, dimungkinkan Penghasilan Tetap Pemerintah Desa akan tepat waktu dan setiap tahunnya akan diterima penuh selama 12 bulan.
Ketentuan dimaksud tertuang pada Pasal 72 Ayat 5 yang berbunyi:
Besaran 10% (sepuluh persen) dari Dana Alokasi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diprioritaskan untuk pembayaran penghasilan tetap yang diteruskan dari rekening Pemerintah Pusat kepada rekening Desa.
Implementasi ADD sebagai Mandatory Spending
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undangundang Nomor 6 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam Undang-undang tersebut dan dipertegas dalam peraturan pemerintah mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa. Artinya Otonomi Desa diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari masyarakatnya itu sendiri, dengan demikian Desa memiliki posisi sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang dalam penyelenggaraan otonomi daerah, karena dengan kuat dan mantapnya Desa akan mempengaruhi secara langsung perwujudan otonomi daerah. Jika Desa menjadi lebih kuat dan mandiri maka suatu daerah juga akan mengalami suatu kemajuan dan kemandirian dalam mengurus warga Negara.
Pemerintahan Desa merupakan unit terdepan pelayanan kepada masyarakat serta menjadi tonggak utama untuk keberhasilan semua program. Karena itu, memperkuat Desa secara total merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda dan dihindari dalam upaya untuk mempercepat terwujudnya kemandirian desa dan kesejahteraan masyarakat sebagai kerangka tujuan otonomi daerah secara mendasar pada masing-masing daerah.
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun2oi4 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa telah memberikan perhatian bagi Pemerintahan desa terkait insentif yang harus diterima dalam rangka terwujudnya tata Kelola desa yang lebih baik.
Pada Pasal 81 disebutkan :
1) Penghasilan tetap diberikan kepada kepala Desa, sekretaris Desa, dan perangkat Desa 1ainnya dianggarkan dalam APBDesa yang bersumber dari ADD.
2) Bupati/wali kota menetapkan besaran penghasilan tetap kepala Desa, sekretaris Desa, dan perangkat Desa lainnya, dengan ketentuan:
a. besaran penghasilan tetap kepata Desa paling sedikit Rp2.426.640,O0 (dua juta empat ratus dua puluh enam ribu enam ratus empat puluh rupiah) setara 120% (seratus dua puluh per seratus) dari gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang II/a;
b. besaran penghasilan tetap sekretaris Desa paling sedikit Rp2.224.42O,OO (dua juta dua ratus dua puluh empat ribu empat ratus dua puluh rupiah) setara 110% (seratus sepuluh per seratus) dari gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang Il/a; dan
c. besaran penghasilan tetap perangkat Desa lainnya paling sedikit Rp2.O22.200,00 (dua juta dua puluh dua ribu dua ratus rupiah) setara 100% (seratus per seratus) dari gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang II/a
Belum lagi apabila besaran Penghasilan Tetap (Siltap) mengikuti kenaikan gaji PNS sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2024 Perubahan Kesembilan Belas atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Dimana kenaikan gaji PNS naik sekitar 8 persen.
Di kancah implementasi, harapan kesejahteraan perangkat desa ini tentunya harus secara kontinyu dilakukan dalam rangka menjaga “Kepastian Ekskusi” Mandatory Spending oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Sebesar apapun Mandatory Spending atau belanja atau pengeluaran negara yang sudah diatur oleh undang-undang. Kalau Implementasinya bermasalah, juga akan membuat masalah baru dalam penyelanggaraan Pemerintah Desa.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam rangka menjaga “Kepastian Ekskusi” Mandatory Spending ini, yaitu:
1. Memastikan Komitmen Pemerintah Daerah/Kabupaten/Kota dalam pengalokasian paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Upaya ini bisa dilakukan dengan; umpamanya advokasi rehgulasi daerah/kabupaten terkait Siltap dan tunjangan perangkat desa.
2. Memastikan Distribusi siltap dan Tunjangan bagi Pemerintah Desa tidak terbelit pada birokarsi yang rumit sekaligus memastikan ketepatan waktunya.
Mandatory Spending Versus Basis Kinerja
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Uu Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, secara terang telah menyampaikan besaran mandatory spending beserta beberapa penjelasan bagaimana teknis sampai ke rekening desa.
Memang dari sisi konsep anggaran berbasis kinerja, keberadaan Mandatory Spending tidak berbanding lurus dengan basis kinerja. Karena dalam teorinya Mandatory Spending yang tidak menentukan kualitas dari keluaran (outcome) atau hasil yang dicapai. Disisi dengan terbitnya peraturan perundang-undangan terkait desa, maka ada tuntutan perbaikan kinerja pelayanan publik di desa agar Masyarakat semakin Sejahtera.
Untuk itu perlu adanya strategi khusus mengurangi pertentangan tersebut. Artinya capaian kinerja harus diutamakan tanpa melanggar undang-undang terkait Mandatory Spending.
Hal ini dilakukan untuk menghindari atau meminimalkan terjadinya disparitas. Dimana apabila alokasi anggaran mandatory spending itu besar, maka harus berbading lurus dengan kebutuhan pencapaian kinerja yang baik bagi pemerintahan desa.
Beberapa agenda penting yang mungkin bisa dilakukan adalah:
Pertama, Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa Dalam Peningkatan Tata Kelola Desa.
Sebagaimana mandat dalam UU nomor 3 tahun 2023 pasal yang berbunyi:
“Dalam rangka meningkatkan kompetensi dan akuntabilitas Kinerja pemerintah desa maka perlu dilakukan pola atau pentalaksanaan Pemerintah Desa yang diatur lebih lanjut Dengan peraturan pemerintah.”
Peningkatan Kapasitas dimaksud adalah Upaya perubahan peningkatan sikap, ketrampilan, perilaku, kemampuan dan kesadaran dapat dibangun melalui perubahan tata kelola atau sistem pemerintahan yang didukung oleh individu-individu dengan cara pandang, sikap dan perilaku yang sejalan dengan nilai dan karakter yang diharapkan pada Undang-Undang terkait Desa.
Tanpa peningkatan kapasitas, aparatur desa mungkin akan kesulitan untuk menjalankan tugas-tugas mereka dengan efektif. Hal ini dapat berdampak pada kinerja pemerintah desa dan menghambat kemajuan pembangunan di desa. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas aparatur desa menjadi sangat penting bagi kemajuan desa dan kesejahteraan masyarakatnya.
Semakin meningkatnya kapasitas aparatur pemerintah desa, baik kepala desa, sekretaris desa dan komponen lainnya, maka dapat memperkuat sinergitas dalam proses penyelenggaraan dan pembangunan desa. Bila tanpa kesatupaduan diantara elemen maka gerak langkahnya akan sulit, untuk itu harus dibangun semangat kebersamaan.
Kedua, Penguatan Pembinaan dan Pengawasan Tata Kelola Pemerintahan Desa.
Merujuk pada UU Desa, pemerintah supradesa mendapatkan amanat untuk melakukan binwas kepada desa.
penyelenggaraan pemerintahan desa.14 Binwas yang dilakukan oleh pemerintah pusat antara lain memberikan pedoman dan standar pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah desa, pedoman terkait dukungan pendanaan dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten kepada desa serta melakukan pendidikan dan pelatihan tertentu kepada AD dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Untuk pemerintah provinsi, peran binwas terhadap desa dilakukan melalui pembinaan terhadap kabupaten untuk menyusun peraturan daerah yang mengatur desa serta melakukan pembinaan peningkatan kapasitas kepala desa dan perangkat desa, BPD, dan lembaga kemasyarakatan.16 Di Tingkat kabupaten, peranan kabupaten menjadi lebih teknis di antaranya dengan melakukan fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan melakukan binwas penyelenggaraan pemerintahan desa.
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 pasal Pasal 112 ayat (1) yang berbunyi:
“Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa”.
Pembinaan dan pengawasan sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun Pasal (115) yaitu:
Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a. memberikan pedoman pelaksanaan penugasan urusan Kabupaten/Kota yang dilaksanakan oleh Desa;
b. memberikan pedoman penyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa;
c. memberikan pedoman penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
d. melakukan fasilitasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
e. melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa;
f. menetapkan pembiayaan alokasi dana perimbangan untuk Desa;
g. mengawasi pengelolaan Keuangan Desa dan pendayagunaan Aset Desa;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
i. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan lembaga adat;
j. memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga kemasyarakatan, dan lembaga adat;
k. melakukan upaya percepatan Pembangunan perdesaan;
l. melakukan upaya percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis;
m. melakukan peningkatan kapasitas BUM Desa dan lembaga kerja sama antar-Desa; dan
n. memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, Merumuskan Kriteria Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Tata Kelola Pemerintahan Desa.
Tata kelola pemerintahan desa adalah proses pengelolaan, pengaturan, dan pengawasan atas sumber daya dan kebijakan di tingkat desa oleh pemerintah desa yang bertanggung jawab terhadap kepentingan masyarakat desa. Beberapa aspek evaluasi terhadap tata kelola pemerintahan desa bisa meliputi:
a. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa: Struktur organisasi pemerintahan desa disusun agar dapat memfasilitasi koordinasi, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kebijakan secara efektif. Struktur organisasi pemerintahan desa terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, dan perangkat desa lainnya. Dasar Evaluasi menggunakan Permendagri No. 12 Th. 2007 Ttg. Pedoman Penyusunan Dan Pendayagunaan Data Profil Desa Dan Kelurahan.
b. Partisipasi Masyarakat: Partisipasi masyarakat sangat penting dalam tata kelola pemerintahan desa. Masyarakat desa harus diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan masukan terhadap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah desa.
c. Transparansi Dan Akuntabilitas: Pemerintah desa harus mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambilnya. Hal ini termasuk dalam proses anggaran, pengelolaan aset, dan pelaporan keuangan.
d. Pengelolaan aset desa: Pemerintah desa harus bertanggung jawab dalam mengelola aset desa seperti tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. Pengelolaan aset desa harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat desa.
e. Pelaksanaan Pemberdayaan masyarakat: Pemerintah desa harus berperan aktif dalam memberdayakan masyarakat desa, baik melalui penyediaan infrastruktur dan fasilitas publik maupun melalui program-program pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
f. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan: Pemerintah desa harus memastikan bahwa setiap tindakan yang diambilnya sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
g. Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD): BPD adalah organisasi perwakilan masyarakat desa yang berperan dalam pengambilan keputusan dan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan desa.
h. Peran Lembaga Kemesyarakatan desa/Lembaga adat Desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) adalah wadah partisipasi masyarakat, sebagai mitra Pemerintah Desa, ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.mbinaan usaha kecil dan menengah.
Penutup
Dasa Warsa Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, harus diakui begitu besar perhatian pemerintah dalam Upaya memuliakan desa. Peraturan perundang-undangan terus terbit untuk mendorong desa semakin baik dan Sejahtera. Bahkan Pemerintah Pusat sangat serius keperpihakannya ke desa sehingga Pemerintah memberikan Mandatory Spending melalui Anggaran Belanja Pemerintah untuk kepentingan desa. Untuk Itu sangat wajar bila kita berharap keseriusan pemerintah ini diikuti oleh semakin baiknya kinerja pemerintahan desa.

” Indonesia Tidak Bercahaya Karena Obor Besar Di Jakarta, Indonesia Baru Akan Bercahaya Karena Lilin-lilin Kecil Di Desa” (Bung Hatta )
BERKABAR BAIK DAN KEBAIKAN