TV Desa – Kudus : Nilai penting Posyandu sebagai garda terdepan dalam memantau kesehatan ibu dan anak, disadari benar oleh TP PKK Kabupaten Kudus, Mawar Hartopo. Hadir secara langsung meninjau pelaksanaan Posyandu dan sekaligus menyerahkan PMT balita di Desa Langgardalem, Kecamatan Kota, Senin (4/10), Mawar berpesan untuk senantiasa memantau kesehatan anak agar kebutuhan gizi dapat terpenuhi.
“Jangan takut kalau ada yang kurang gizi, karena kurang gizi itu bukan aib ya, sekali lagi bukan aib,” tegas Mawar Hartopo.
Menurut Mawar, Posyandu berperan penting sebagai pengawasan terhadap tumbuh kembang balita dan kesehatan ibu. Anak-anak sebagai generasi penerus bangsa harus dikawal tumbuh kembangnya, terutama ketika sedang berada dalam masa emas.
“Terus terang akan ada kekurangan gizi itu, dan kita akan pantau sebaik-baiknya. Jadi itupun PR buat ibu-ibu harus telaten buat pantau kondisi anak-anak di rumah,” pesan Mawar.
Pemkab Kudus, dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan evaluasi, secara rutin menggelar lomba posyandu tingkat kabupaten. Dilaksanakan sebagai hasil kolaborasi antara Dinas Kesehatan bersama PKK.
Sinergi kader posyandu bersama tenaga kesehatan puskesmas dalam setiap kegiatan perencanaan dan pelaksanaannya, menjadi syarat mutlak. Mawar juga mendorong adanya inovasi pada posyandu untuk mengikuti era yang serba canggih seperti saat ini. Contohnya, dalam melaksanakan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dapat dilakukan secara interaktif melalui teknologi komunikasi yang ada.
Permasalahan tumbuh kembang balita di Kudus, akan selalu menjadi perhatian khusus Pemkab Kudus. Oleh karena itu, kehadiran 828 posyandu yang tersebar di 9 Kecamatan, 9 Kelurahan dan 123 Desa, lebih dari cukup menjadi bukti keseriusan Pemkab. Sementara berbicara kasus stunting, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kudus, mencatat, bahwa pada 2020 dari 60.907 balita di Kabupaten Kudus, 2.871 di antaranya mengalami kasus stunting.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.