TV Desa – Jakarta : Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan bahwa salah satu fokus pemerintah adalah pembangunan sumber daya manusia (SDM). Salah satunya menekan tingginya angka stunting di Indonesia. Pemerintah menargetkan penurunan angka stunting menjadi 14% pada tahun 2024. Tito pun meminta agar pemerintah desa juga ikut serius dalam menangani persoalan stunting di wilayahnya masing-masing.
“Pemerintah Desa tolong kontribusi betul program stunting, yaitu pertumbuhan yang tidak baik (tak optimal) di 1.000 hari pertama masa kehidupan, karena kekurangan gizi (bisa menyebabkan) stunting,” katanya dikutip dari pers rilis Puspen Kemendagri, Minggu (19/9/2021).
Dia mengatakan bahwa pentingnya gizi pada 1.000 hari pertama masa kehidupan merupakan penentu masa keemasan atau golden age bagi anak. Maka dari itu peran pemerintah desa melalui program-programnya diharapkan dapat memperhatikan dan menyentuh gizi ibu hamil hingga sang anak dilahirkan.
Salah satu caranya dengan kunjungan pintu ke pintu door to door untuk mengidentifikasi kebutuhan makanan sehat bagi ibu hamil dan anak pada 1.000 hari pertamanya.
“Nah ini makanya digenjot program paling utama adalah pembangunan SDM, semua desa harus berpikir seperti itu, supaya tidak terjadi stunting dan kemudian menggenjot pendidikan,” tuturnya. Selain itu Tito juga menegaskan bahwa pertumbuhan penduduk dan bonus demografi memiliki kaitan yang erat satu dengan lainnya. Lewat SDM yang unggul, sehat, terdidik dan terlatih, akan menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong Indonesia Emas.
“Anak-anak muda Indonesia harus sehat, terdidik, terlatih, ini akan menjadi kekuatan luar biasa bagi bangsa Indonesia,” pungkasnya, saat membuka Musyawarah Nasional IV Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) dengan tema “Memperkuat Posisi Desa sebagai Entitas Local Self Government dalam Sistem Tata Negara menuju Indonesia Emas 2045,” Sabtu (18/9/2021).
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.