Syahruddin – Pesawaran : Setiap profesi dunia kerja memiliki sebuah aturan atau kaidah yang sudah ditentukan atau yang biasa disebut etika profesi.
Setiap individu bertanggung jawab kepada masyarakat atas profesinya masing masing. Sebagaimana ditegaskan oleh Rosulillah SAW
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
Dari Abdullah, Nabi ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.
Demikian halnya dengan profesi jurnalis atau wartawan, memiliki aturan dasar yang telah ditetapkan dewan pers, sebagai bahan landasan kerja dan perilaku wartawan profesional di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan pada UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pada ayat 7 pasal 2, Wartawan berkewajiban memiliki dan menaati kode etik jurnalistik.
Setidaknya ada 11 (Sebelas) pasal dalam kode etik jurnalistik yang harus dipatuhi oleh jurnalis atau wartawan. Diantaranya
“Pasal 1”
“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beri’tikad buruk”
Independen artinya memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani, tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Akurat adalah dipercaya benar sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa itu terjadi.
Berimbang artinya semua pihak mempunyai kesempatan yang sama .
Sedangkan tidak beri’tikad buruk artinya tidak ada niat secara sengaja untuk menimbulkan kerugian fihak lain.
“Pasal 2”
“Wartawan Indonesia menempuh dengan cara cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”
Cara cara profesional itu adalah menunjukan identitas diri kepada nara sumber dalam hal ini ID pers berfungsi untuk menunjukan wartawan jurnalis dari media mana.
kemudian menghormati hak privasi Nara sumber, tidak menyuap, menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya, rekayasa pengambilan dan pemuatan gambar, foto atau suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang.
menghormati pengalaman troumatik nara sumber dalam penyajian gambar, foto dan suara, tidak melakukan plagiat termasuk menyatakan hasil peliputan wartawan lain sebagai karya sendiri.
“Pasal 3”
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”
Menguji informasi berarti melakukan cek and ricek tentang kebenaran informasi itu.
Berimbang berarti memberikan waktu dan ruang kepada masing masing pihak secara proporsional.
Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan.
Hal ini berbeda dengan opini interpretatif yaitu berupa interprestasi wartawan atas fakta.
Kemudian yang dimaksud dengan asas praduga tak bersalah adalah tidak menghakimi seseorang.
“Pasal 4”
“Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul”
Bohong berarti berita yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Sebagaimana ditegaskan dalam Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
“Dan hendaklah kalian jujur, sebab jujur menggiring kepada kebaikan, dan kebaikan akan menggiring kepada surga. Dan sungguh, jika seseorang berlaku jujur dan terbiasa dalam kejujuran hingga di sisi Allah ia akan ditulis sebagai orang yang jujur.”
Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
Fitnah merupakan hal yang sangat dilarang oleh Allah SWT. Karena ketika seseorang melakukan fitnah, ia akan menyebabkan hidupnya menyesal dengan perbuatannya.
Karena itu ketika mendengar suatu berita berhati-hatilah, jangan sampai ternyata berita itu hanyalah fitnah belaka.
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Hujurat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang orang fasik membawa berita maka periksa berita tersebut dengan teliti agar tidak menyebabkan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang nantinya akan menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan tersebut” (QS. Al Hujurat:6)
Di dalam ayat tersebut dijelaskan ketika kita mendengar berita, jangan langsung dipercaya, namun periksalah terlebih dahulu.
Karena jika berita tersebut ternyata fitnah, maka kita akan termasuk ke dalam dosa besar.
Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد ؛ اذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى
“Perumpamaan seorang mukmin dalam berkasih sayang di antara mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu bagian tubuh merasa sakit, maka semua anggota tubuh lainnya akan ikut merasakannya, sampai tak dapat tidur dan demam.” (HR. Bukhori & Muslim)
Cabul berarti penggambaran tingkah laku erotis dengan foto, gambar, tulisan, grafis atau suara yang semata mata membangkitkan nafsu birahi.
Imam Baijuri memberi penjelasan mengenai Nafsu Birahi/Syahwat, Beliau menyatakan:
ومثل الشهوة خوف الفتنة فلو انتفت الشهوة وخيفت الفتنة حرم النظر ايضا وليس المراد بخوف الفتنة غلبة الظن بوقوعها بل يكفي ان لايكون ذلك نادرا وان كان بغير شهوة وبلا خوف فتنة.
“Termasuk syahwat, kekhawatiran terjadinya fitnah. Jika syahwat tidak dirasakan, namun ditakutkan terjadi fitnah, maka haram pula melihat objek tersebut.
Yang dimaksud dengan ‘takut terjadi fitnah’ bukan sangkaan yang dominan bahwa fitnah akan terjadi. Namun anggapan kecil yang mungkin jarang terjadipun, sudah masuk konteks ‘takut terjadi fitnah’, meski tanpa syahwat atau tanpa kekhawatiran timbulnya fitnah.” (Hasyiyah Bajuri, Vol 3, 96)
Tidak dapat dipungkiri, orang yang melihat gambar seronok, cabul, dan mengumbar aurat akan terkena fitnah dan akan terdorong untuk berlaku dosa.
Orang tersebut tidak akan melihat gambar tersebut kecuali dengan syahwat. Jika tidak, lalu apa tujuannya untuk melihat? Apakah untuk mengingkari kemungkaran? Apakah untuk menahan pandangan?
“Pasal 5”
“Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarakan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”
Yang dimaksud identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
Sedangkan definisi anak dalam pasal ini adalah orang yang belum berusia 16 tahun dan belum menikah.
Jadi dalam naskah berita jurnalis tidak boleh menyebut nama lengkap korban akan tetapi menulis inisial nama korban, alamat korban juga tidak boleh ditulis dalam naskah berita.
Selain itu jika ada foto, gambar dan Vidio, maka wajah korban harus di bluur
“Pasal 6”
“Wartawan Indonesia tidak menyalah gunakan profesi dan tidak menerima suap”
Menyalah gunakan profesi maksudnya adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
Sedangkan yang dimaksud suap adalah pemberian dalam bentuk benda, uang atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Terkait dengan suap Rosululloh SAW mengaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قاَلَ رَسُو لُ اللهِ – صَلَى اللهُ عَلَيْهِ ؤَسلَّمَ لَعَنْ اللهُ الرّاشِىَ وَالْمُرْ تَسِىَ فى الْحُكْمِ (رَوَاهُ اَحْمَدُ)
Artinya: Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasul SAW bersabda: Allah SWT melaknat penyuap dan yang di suap (HR. Imam Ahmad). Hadist ini dinyatakan shohih oleh syaikh Al-banani di dalam shohih At-targhib wa At-Tarhibll/261 no.2212.
Salah satu contoh pelanggaran kode etik jurnalistik pasal 6 adalah seperti ini :
Seorang wartawan menerima sejumlah uang dari oknum pejabat di salah satu instansi, uang yang diberikan pejabat itu untuk mengamankan pemberitaan tentang dirinya.
Kasus ini merupakan salah satu contoh pelanggaran kode etik jurnalistik pasal 6 karena telah menerima suap berupa uang dari fihak lain yang mempengaruhi independensinya.
“Pasal 7”
“Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi Nara sumber yang tidak mau diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, Informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan”
Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan Nara sumber dan keluarganya.
Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan Nara sumber.
Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari Nara sumber yang di siarkan atau di beritakan tanpa menyebutkan Nara sumber nya.
Off The Record adalah segala informasi atau data dari Nara sumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ الحَدِيثَ ثُمَّ التَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ
”Jika seseorang menceritakan suatu peristiwa kemudian ia berpaling, maka cerita itu menjadi amanah.” (HR At-Turmudzi dari Jabir bin Abdullah).
“Pasal 8”
“Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau jasmani”
Penafsiran prasangka dalam pasal ini adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
Orang yang berprasangka/Suudzon akan selalu menafsirkan setiap apa yang terjadi akan menjadi buruk dalam pandangannya dan sebagian dari prasangka adalah dosa. Ditegaskan dalam Firman Allah SWT di Al Qur’an Surat Al Hujurat:
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan) karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari keburukan orang dan janganlah menggunjing satu sama lain. Ialah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada-nya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguh-nya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujurat, Ayat : 12)
Sedangkan yang dimaksud diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
“Pasal 9”
“Wartawan Indonesia menghormati hak Nara sumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik”.
Penafsiran menghormati hak Nara sumber dalam pasal ini adalah sikap menahan diri dan berhati hati.
Sementara kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan kelaurganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
“Pasal 10”
“Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar atau pemirsa”
“Pasal 11”
“Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional“
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Sedangkan hak koreksi adalah hal setiap orang untuk membenarkan kekeliaruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain .
Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang diperbaiki
Wallohul Muwafiq Ilaa Aqwamitthoriq
Wassalamu’alaikum Wr Wb
“Salam Desaisme”
Percaya Desa, Desa Bisa !!!
Penulis Bekerja Sebagai Tenaga Pendamping Profesional (TPP) BPSDM Kementrian Desa PDTT RI Pesawaran