TV Desa – Pulang Pisau : Desa Bukit Bamba telah mendapatkan izin Perhutanan Sosial dengan skema hutan desa pada Februari 2021. Tim Survei Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), seperti dikutip dari Antara, mencoba menguak potensi hutan Desa Bukit Bamba di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah tersebut.
“Kami menemukan banyak sekali jenis pohon dan tanaman obat. Bahkan, kami masih ketemu dengan sejumlah orangutan yang berbeda-beda sehingga berpotensi dijadikan kawasan penelitian,” kata Ketua LPHD Bukit Bamba Herie Jakat melalui pernyataan yang diterima di Palangka Raya, Senin.
Dia mengatakan, sebagai bagian dari upaya untuk menjaga dan memanfaatkan secara lestari hutan desa ini, LPHD Bukit Bamba akan berkolaborasi dengan Bornoe Nature Foundation (BNF) untuk pengelolaan hutan desa tersebut.
“Harapannya, hutan desa ini dapat dijadikan untuk hutan penelitian bagi masyarakat maupun dari universitas,” kata Harie.
Herie menambahkan dengan kapasitas yang ada saat ini, pihaknya menyadari belum sanggup untuk menjaga dan mengelola hutan desa secara menyeluruh. Untuk itu, LPHD Bukit Bamba juga telah bekerja sama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi Kalimantan Tengah dan BNF Indonesia untuk mengelola HD Bukit Bamba.
“Kolaborasi itu sebagai upaya untuk meningkatkan pengelolaan hutan desa dengan baik, terutama dalam pelatihan, pendampingan serta penyediaan akses dan sarana,” katanya.
Hutan Desa Bukit Bamba sendiri terbagi dari tiga area di lokasi yang berbeda dan salah satu area yang telah disurvei adalah area dua. Area ini memiliki luas 350 hektar dengan populasi keanekaragaman hayati yang masih belum terdokumentasikan dan tercatat.
Sementara itu, Social Forestry Officer BNF Indonesia, LIlik Sugiarti mengatakan bahwa hasil survei hutan desa Bukit bamba khususnya di area dua memang cocok sebagai hutan penelitian.
“Ketika kami membuat transek bersama anggota LPHD kemarin sering bertemu dengan orangutan liar, owa-owa, kelasi, bahkan, beruang dan kukang. Hutan Desa Bamba merupakan limpasan hewan-hewan dari perkebunan sawit yang ada mengelilingi,” tutup LIlik.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.