TVDesa – Ngawi : Semangat kebersamaan dan gotong royong mewarnai Musyawarah Desa (Musdes) serentak yang digelar di tiga desa di Kecamatan Ngrambe, yaitu Desa Pucangan, Desa Mendiro, dan Desa Krandegan. Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2024 ini bertujuan untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) Tahun 2025.
Pucangan: Pelestarian Budaya dan Wisata Budaya
Di Desa Pucangan, Camat Ngrambe, Kusnu Heri Purwanto, bersama Kepala Desa Pucangan, Agung Suprapto, menekankan pentingnya menjaga warisan budaya sebagai identitas desa. Musdes ini menghasilkan ide-ide seperti festival budaya tahunan dan pembangunan museum mini untuk melestarikan artefak sejarah desa.
Mendiro: Peningkatan Ekonomi dan Infrastruktur
Beralih ke Desa Mendiro, Kusnu Heri Purwanto dan Kepala Desa Mendiro, Anton Budiarso, memfokuskan musdes pada peningkatan ekonomi dan infrastruktur. Warga mengusulkan pembukaan akses jalan baru, pembangunan pasar desa, dan pelatihan kewirausahaan untuk pemuda.
Krandegan: Kesejahteraan dan Pendidikan
Di Desa Krandegan, Camat Ngrambe dan Kepala Desa Krandegan, Tri Mulyono, memprioritaskan kesejahteraan masyarakat dan pendidikan. Beasiswa untuk siswa berprestasi, pembangunan perpustakaan desa, dan peningkatan fasilitas pendidikan menjadi fokus utama musdes di desa ini.
Semangat Kebersamaan dan Optimisme
Camat Ngrambe mengapresiasi partisipasi aktif masyarakat di ketiga desa. “RKP Desa 2025 harus mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat,” ujarnya. Musdes ini tidak hanya menghasilkan RKP, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan semangat kebersamaan. Dengan semangat ini, ketiga desa di Kecamatan Ngrambe siap menyambut tahun 2025 dengan optimisme dan harapan baru.
Musdes serentak di Kecamatan Ngrambe menunjukkan semangat kebersamaan dan gotong royong masyarakat dalam membangun desa. Hasil musdes ini akan menjadi pedoman bagi pemerintah desa dalam menyusun program dan kegiatan yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.