Home / Opini

Selasa, 3 Desember 2024 - 08:56 WIB

Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbang): Antara Formalitas dan Harapan yang Terkikis

RF Admin - Penulis

Oleh: Reki Fahlevi

 

Musrenbang Desa merupakan forum perencanaan pembangunan yang diatur dalam Permendes PDTT No.21 Tahun 2020. Di samping itu, ketentuan mengenai Musrenbang Desa juga disebutkan dalam Permendagri No.114 Tahun 2014. Pelaksanaan Musrenbang Desa bertujuan untuk menyerap, membahas, dan memprioritaskan kebutuhan masyarakat sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Musrenbang adalah wujud demokrasi partisipatif yang menjamin keterlibatan masyarakat dalam pembangunan di desa.

Dalam regulasi, penyelenggaraan Musrenbang Desa harus melibatkan berbagai pihak, termasuk perangkat desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, pemuda, kelompok rentan (seperti perempuan dan disabilitas), serta perwakilan organisasi lokal. Tujuannya adalah menciptakan perencanaan yang inklusif dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat. Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa menegaskan bahwa Musrenbang adalah forum untuk mengintegrasikan aspirasi masyarakat ke dalam rencana kerja pemerintah desa.

Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbang) sejatinya merupakan ruang partisipasi masyarakat dalam menyuarakan aspirasi mereka demi pembangunan desa yang berkeadilan. Namun, dalam praktiknya, Musrenbang sering kali hanya menjadi sebuah formalitas tahunan yang tidak mencerminkan tujuan idealnya. Hal ini menciptakan kekecewaan dan apatisme di kalangan masyarakat, terutama karena keterlibatan mereka yang minim dan jalannya acara yang lebih menitikberatkan pada seremonial.

Salah satu penyebab utama minimnya partisipasi masyarakat dalam Musrenbang adalah kurangnya informasi yang sampai kepada mereka. Undangan sering kali tidak sampai ke tingkat akar rumput, atau jika sampai, masyarakat merasa tidak diikutsertakan secara serius. Akibatnya, yang hadir hanyalah perangkat desa, tokoh formal, atau pihak-pihak yang memang sudah terbiasa menghadiri acara seremonial seperti itu.

Baca Juga |  Peran Kepala Suku Dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat Di Distrik Moskona Utara Kabupaten Teluk Bintuni

Selain itu, agenda Musrenbang sering kali tidak memberikan ruang yang cukup untuk diskusi substantif. Mayoritas acara diisi dengan laporan-laporan panjang dari perangkat desa atau pidato seremonial dari pejabat terkait. Waktu untuk masyarakat menyampaikan aspirasi terbatas, sehingga mereka merasa suaranya tidak memiliki tempat yang signifikan dalam forum tersebut. Bahkan, ada kesan bahwa keputusan sudah dibuat sebelumnya tanpa mempertimbangkan masukan dari masyarakat.

Fokus pada seremonial juga terlihat dari penggunaan anggaran yang lebih banyak diarahkan untuk aspek-aspek non-substantif, seperti dekorasi, konsumsi, dan penyambutan pejabat. Alih-alih menjadi wadah untuk memecahkan permasalahan, Musrenbang lebih menyerupai acara formal untuk menunjukkan “keterlibatan masyarakat” secara simbolis tanpa hasil nyata yang berdampak langsung pada kehidupan warga.

Minimnya transparansi dalam hasil Musrenbang semakin memperburuk situasi. Setelah acara selesai, masyarakat jarang mendapatkan tindak lanjut terkait usulan yang mereka sampaikan. Tidak ada mekanisme pelaporan yang jelas tentang apa saja yang disepakati dan bagaimana rencana tersebut akan diimplementasikan. Hal ini membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap proses Musrenbang.

Apatisme masyarakat terhadap Musrenbang juga dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sebelumnya. Mereka merasa bahwa usulan-usulan yang diajukan hanya diabaikan atau digantikan oleh prioritas yang ditentukan oleh elite desa. Dalam banyak kasus, masyarakat hanya menjadi “penggembira” yang tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang sebenarnya.

Baca Juga |  Musrenbangdes Guwosobokerto: Tingkatkan Partisipasi Rumuskan Prioritas RKPDesa 2025

Fenomena ini semakin menunjukkan bahwa Musrenbang lebih digunakan sebagai alat pemenuhan kewajiban administratif daripada sebuah forum demokrasi partisipatif. Sebagai akibatnya, esensi dari Musrenbang sebagai wadah perencanaan yang inklusif dan berbasis kebutuhan masyarakat terpinggirkan.

Namun, semua pihak perlu merenungkan bahwa minimnya keterlibatan masyarakat dalam Musrenbang bukanlah semata-mata kesalahan warga. Ketidakseriusan penyelenggara dalam mengelola forum ini dan kurangnya upaya sosialisasi yang efektif menjadi faktor yang turut berkontribusi. Tanpa perubahan mendasar, Musrenbang hanya akan menjadi ritual tahunan tanpa makna yang signifikan.

Untuk mengubah paradigma ini, diperlukan komitmen bersama dari pemerintah desa, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Musrenbang harus menjadi wadah diskusi terbuka yang melibatkan semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok rentan yang sering kali terabaikan. Agenda dan pelaksanaannya perlu dirancang agar mencerminkan kebutuhan nyata warga desa.

Musrenbang desa memiliki potensi besar jika dikelola dengan baik dan melibatkan masyarakat secara nyata. Namun, jika terus dibiarkan hanya sebagai formalitas dan seremonial belaka, Musrenbang tidak akan pernah mencapai tujuan utamanya: membangun desa yang lebih baik melalui partisipasi aktif seluruh warganya. (*)

 

Follow WhatsApp Channel tvdesanews.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow
Berita ini 44 kali dibaca

Share :

Baca Juga

Opini

Dominasi Data: Melupakan Realitas demi Laporan yang Rapi

Opini

Warong Wo Lidya: Pusat Inspirasi Pemberdayaan Desa

Opini

Penguatan Soft Skill Ibu-Ibu Kopwan Sri Rejeki Melalui Pelatihan Merajut

Opini

Keripik Ubi Desa Cilembu: Cita Rasa Lokal yang Terkendala Kemasan

Opini

Peran Strategis Pengawas dalam Kemajuan BUM Desa

Opini

Gamifikasi dalam LMS: Meningkatkan Motivasi dan Engagement Aparatur Desa dalam Pelatihan
Ilustrasi by Ketut Subiyanto | Pexels

Opini

Mengenal Lebih Dekat Metode Baca Cepat dan Manfaatnya dalam Pembelajaran Berbasis LMS

Opini

Tantangan dan Solusi Membangun Desa Tertinggal Melalui Pendampingan Desa