Murtado : Sebuah fenomena yang membuat kita merinding, baru kita alami sekitar bulan Juni-Juli kemarin. Terutama di daerah Jawa muncul istilah ‘pageblug’, sebuah peristiwa yang ditandai dengan banyaknya orang yang meninggal dalam jangka waktu yang berdekatan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pagebluk (jw) diartikan sebagai wabah (penyakit), epidemi. Seperti kita ketahui bersama, hampir dua tahun COVID 19 sudah menjadi pandemi tidak hanya epidemi dan menjadi wabah di seluruh dunia. Untuk Indonesia pulau Jawa menjadi sentral penyebaran virus mematikan ini.
‘Esuk lara sore mati, sore lara esuk mati’ (pagi sakit sore mati, sore sakit pagi mati), perumpamaan ini muncul di kalangan warga terutama masyarakat desa. Hal ini disebabkan karena banyaknya kejadian kematian yang menimpa warga terutama diakibatkan karena COVID 19. Selama bulan Juni-Juli dalam sehari bisa terjadi lebih dari 3 orang penduduk desa yang meninggal. Kondisi memprihatinkan seperti ini tentu saja membuat takut masyarakat desa.
Namun ada satu sisi yang menarik dari budaya masyarakat Jawa dengan adanya pagebluk COVID 19 ini. Ternyata Prabu Jayabaya, Raja termasyhur Kerajaan Kediri, juga pujangga besar masa itu telah meramalkan kejadian pandemi atau pageblug ini.
Menurut Prabu Jayabaya, ketika memasuki zaman Kalabendu nanti akan terjadi ‘wong jowo kari separo, wong londo kari sejodo’ (orang jawa tinggal separuh, orang belanda tinggal sejodoh).
Lebih jauh banyak ahli esoteri Jawa memberikan pemahaman lebih lanjut bahwa akan terjadi seleksi alam, sebuah proses di mana alam semesta berusaha memperbaiki keseimbangannya. Tentu saja unsur unsur yang membuat alam tidak seimbang akan dihilangkan. Dari sini muncul istilah seleksi alam tadi.
Untuk menghindari proses seleksi alam ini, masyarakat Jawa juga memiliki caranya sendiri. Contohnya adalah dengan memasang ‘sarat/jimat’ berupa ketupat anyaman janur yang diisi beras kuning beserta kelengkapan lainnya, dan dipasang di depan pintu sebagai media untuk ‘tolak bala’.
Namun yang perlu di garis bawahi, dengan diramalkannya kejadian pageblug COVID 19 dalam jangka Jayabaya, membuat masyarakat desa di Jawa lebih siap menghadapinya.
Bahkan dengan kearifan lokal berupaya membuat media agar terhindar dari pageblug. Metode pemakaian media ini walaupun belum bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, minimal menambah kepercayaan diri warga masyarakat sehingga tetap dalam kondisi tenang dan tidak panik.
Proses seleksi alam juga diyakini membuat banyak orang berhenti berbuat negatif. Hal ini disebabkan kekhawatiran menjadi bagian dari unsur negatif yang sedang dibersihkan agar keseimbangan alam semesta kembali terjadi.
Sebuah kejadian luar biasa sedang terjadi. Pageblug COVID 19 akan tercatat dalam sejarah umat manusia di masa yang akan datang. Namun apakah budaya maupun kearifan lokal masyarakat pedesaan Jawa dalam menghadapinya masih bisa dicatat juga dalam sejarah, kita tidak tahu.
Semoga dengan perkembangan teknologi dan informasi, budaya-budaya Jawa bisa terus beradaptasi dan tidak lekang oleh jaman. (moer)
Penikmat sketsa perjalanan, Pendamping Desa, Tinggal di pedesaan Kebumen Jateng