TVDesa – Kutai Kartanegara : Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Payang Sejahtera di Desa Sungai Payang, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, telah muncul sebagai contoh cemerlang tentang bagaimana badan usaha milik desa dapat secara signifikan meningkatkan ekonomi lokal. Dengan melakukan diversifikasi ke berbagai sektor dan membina kemitraan yang kuat dengan perusahaan, BUMDes ini telah memberdayakan masyarakat setempat dan meningkatkan taraf hidup mereka.
Keberhasilan BUMDes terletak pada kemampuannya menciptakan model bisnis berkelanjutan yang menguntungkan desa dan penduduknya. Dengan menyediakan layanan seperti transportasi, katering, dan binatu untuk perusahaan kelapa sawit dan pertambangan di sekitarnya, BUMDes telah menghasilkan pendapatan yang cukup besar dan menciptakan banyak peluang kerja.
“BUMDes Sungai Payang merupakan panutan bagi BUMDes lainnya di Kutai Kartanegara,” kata Arianto, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa. “Kemampuan mereka untuk menetapkan standar yang tinggi dan berkolaborasi dengan perusahaan patut dipuji.”
Faktor kunci keberhasilan BUMDes adalah komitmennya terhadap pemberdayaan masyarakat. BUMDes memprioritaskan mempekerjakan penduduk setempat, terutama perempuan dan mereka yang berasal dari latar belakang yang kurang beruntung. Dengan memberikan pelatihan dan dukungan, BUMDes telah membantu mengembangkan tenaga kerja yang terampil dan memperkuat ekonomi lokal.
“Kami telah bermitra dengan perusahaan kelapa sawit sejak tahun 2013 dan dengan perusahaan pertambangan sejak tahun 2019,” jelas Solikin, sekretaris BUMDes. “Kami memprioritaskan warga setempat untuk berbagai layanan kami, termasuk transportasi, katering, dan binatu.”
Untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dari operasinya, BUMDes Payang Sejahtera sangat mengutamakan kualitas dan kepuasan pelanggan. Dengan menjaga hubungan yang sangat baik dengan mitra korporatnya, BUMDes ini telah berhasil mendapatkan kontrak yang berkelanjutan dan memperluas operasinya.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.