TVDesa – Surabaya : Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menyampaikan kabar baik terkait penyaluran Dana Desa di wilayahnya. Hingga akhir September 2023, realisasi penyaluran dana yang diperuntukkan bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa telah mencapai 80,54 persen.
Dilansir dari ANTARA, Khofifah menjelaskan bahwa dari total alokasi Dana Desa sebesar Rp7,9 triliun pada tahun 2023, sebesar Rp6,4 triliun telah berhasil disalurkan kepada 7.719 desa di Jawa Timur. Angka ini menunjukkan komitmen pemerintah provinsi dalam mempercepat penyaluran dana desa agar dapat segera dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di tingkat desa.
Fokus pada Kesejahteraan Masyarakat
Dana Desa yang disalurkan tidak hanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa, tetapi juga diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu program yang menjadi fokus adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa. Hingga akhir September, penyaluran BLT Dana Desa telah mencapai 70,87 persen dari total alokasi sebesar Rp1,109 triliun.
BLT Dana Desa ini telah disalurkan kepada 308.155 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di seluruh desa di Jawa Timur. Program ini diharapkan dapat membantu meringankan beban masyarakat, terutama yang terdampak pandemi dan kondisi ekonomi yang sulit.
Kendala dan Solusi
Meskipun penyaluran Dana Desa di Jawa Timur berjalan dengan baik, terdapat beberapa kendala yang ditemui di beberapa desa. Beberapa desa tidak dapat menyalurkan Dana Desa karena adanya penggabungan desa atau keterlambatan pengajuan penyaluran. Selain itu, ada juga desa yang tidak dapat menyalurkan BLT Dana Desa karena tidak adanya Keluarga Penerima Manfaat yang memenuhi kriteria.
Terkait kendala tersebut, pemerintah daerah terus berupaya mencari solusi agar seluruh desa dapat memanfaatkan Dana Desa secara optimal. Koordinasi yang baik antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan desa menjadi kunci keberhasilan dalam mengatasi berbagai kendala yang ada.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.