Home / Opini

Sabtu, 4 September 2021 - 22:29 WIB

Perlu Intelektual Pulang Kampung, Bangun SDGs Desa

I Nyoman Budhi Wirayadnya - Penulis

TV Desa – Denpasar : Selama ini, istilah urbanisasi kita ketahui sebagai perpindahan penduduk dari Desa ke Kota semata-mata. Padahal, urbanisasi juga meliputi perpindahan atau perubahan seluruh cara hidup penduduk. Istilah-istilah yang kita kenal hari ini seperti “daerah/masyarakat urban” atau yang terdahulu yakni “Kota” merupakan label-label yang kita cantumkan pada perubahan cara berkehidupan itu.

Selama ini, pandangan kita telah dibingkai ke dalam satu pemahaman umum mengenai urbanisasi. Bahwa arus urbanisasi terjadi lantaran ada kesenjangan antara Desa dan Kota. Kota adalah simbol kemajuan, yang di sanalah segala sumber daya berada. Sementara Desa telanjur identik dengan segala yang beraroma ketertinggalan, kemiskinan, kebodohan dan sebagainya meski selama ini tersamar dalam frasa “Desa yang indah”, “kearifan Desa” dan semacamnya.

Benarkah demikian? Benarkah urbanisasi disebabkan oleh faktor ekonomi semata-mata?

Faktor pendidikan merupakan penyumbang paling signifikan bagi terciptanya arus urbanisasi. Orang-orang Desa pergi ke Kota, motifnya bukan semata-mata ekonomi, melainkan karena ingin mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Semakin tinggi pendidikan orang Desa, semakin tinggi pula motivasi mereka untuk meninggalkan Desanya. Desa ditinggalkan orang-orang pandai karena memang hanya orang-orang pandai atau paling tidak berasal dari keluarga dengan ekonomi cukup yang sanggup menembus pendidikan tinggi di perkotaan.

Ke manakah orang-orang Desa yang pandai itu setelah menyelesaikan pendidikannya di Kota? Mereka bertarung di Kota-Kota, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, dan kebanyakan tidak menjadi duta ekonomi bagi Desanya. Mereka yang berhasil menjadi kelas menengah, malah memutuskan untuk tidak pulang ke Desanya. Mereka hidup di pinggiran kota dengan membeli atau menyewa tanah dan rumah, ngiridit kendaraan dan hidup secara konsumtif. Akibatnya, jalan di Kota-Kota menjadi bertambah macet di saban jam masuk dan pulang kerja sehingga pemerintah mencurahkan konsentrasi pembangunan infrastruktur di Kota-Kota dengan alasan mengurai kemacetan. Nah, di sinilah sebenarnya akar kesenjangan pembangunan Kota dan Desa itu berada—sekaligus ujung benang yang mestinya bisa diurai.

Baca Juga |  Penguatan Soft Skill Ibu-Ibu Kopwan Sri Rejeki Melalui Pelatihan Merajut

Setelah orang-orang terdidik pergi ke Kota dan tidak kembali, Desa dihuni oleh “orang-orang biasa”. Lahan-lahan pertanian, karena digarap oleh orang-orang yang kurang termotivasi dan nirinovasi, akhirnya tidak mampu lagi menghasilkan produk-produk pertanian yang dapat diunggulkan. Sawah ladang pun, sedikit demi sedikit, berpindah kepemilikan karena makin melambungnya berbagai kebutuhan ditambah gempuran media yang menyajikan konsumerisme. Anak-anak mudanya pun lalu memandang bahwa tinggal di Desa, apalagi menjadi petani, bukanlah sesuatu yang membanggakan dan menjanjikan masa depan lagi.

Karena pada kenyataannya, jarang sekali kita menemukan orang terdidik yang menjadi cendekiawan di Desanya. Kaum cendekiawan telanjur nyaman hidup sebagai rajawali yang bertengger di menara gading, dan merasa enggan menjadi cacing yang bergulung dengan tanah.

Mereka baru mau menuruni anak tangga menara tinggi itu kala usia sudah tidak produktif lagi. Desa pada akhirnya hanya menerima putranya yang sudah tidak bisa memberi sumbangsih apa-apa lagi. Hanya menerima macan ompong nan ringkih. Malangnya Desa, hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir.

Baca Juga |  Kita Sama-sama Rindu Pemimpin Hasil Proses Demokrasi Yang Tidak Crazy

Sedangkan seperti yang kita ketahui bersama SDGs Desa adalah pembangunan total atas desa. Seluruh aspek pembangunan yang digagas PBB sejak pendirian hingga kini diterapkan, seluruh warga desa harus menjadi pemanfaatnya, tidak ada yang terlewat. Dan, kemajuan tiada akan berhenti, melainkan berkelanjutan bagi generasi-generasi mendatang. Mewujudkan desa tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, layak air bersih dan sanitasi, berenergi bersih dan terbarukan, infrastruktur dan inovasi sesuai kebutuhan. Warganya sehat dan sejahtera, menerima pendidikan berkualitas, perempuan berpartisipasi, menumbuhkan ekonomi merata, konsumsi dan produksi sadar lingkungan. Tinggal di permukiman yang aman dan nyaman, tanggap perubahan iklim, peduli lingkungan laut dan darat, damai berkeadilan, bermitra membangun desa. Dilengkapi tujuan khas SDGs Desa ke 18: kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif.

Keterpaduan pembangunan SDGs Desa bisa tercapai jika para intelektual yang dimiliki oleh Desa bersedia pulang kampung ikut membangun Desa. Hidup dan larut bersama masyarakat Desa.

Di Indonesia banyak Desa yang tertinggal karena potensinya tidak tergali dengan baik, termasuk beberapa Desa di Bali karena warganya yang cerdik pandai jarang pulang kampung dan asyik menjadi masyarakat urban tinggal dikota.

Follow WhatsApp Channel tvdesanews.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow
Berita ini 136 kali dibaca

Share :

Baca Juga

Opini

Dominasi Data: Melupakan Realitas demi Laporan yang Rapi

Opini

Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbang): Antara Formalitas dan Harapan yang Terkikis

Opini

Warong Wo Lidya: Pusat Inspirasi Pemberdayaan Desa

Opini

Penguatan Soft Skill Ibu-Ibu Kopwan Sri Rejeki Melalui Pelatihan Merajut

Opini

Keripik Ubi Desa Cilembu: Cita Rasa Lokal yang Terkendala Kemasan

Opini

Peran Strategis Pengawas dalam Kemajuan BUM Desa

Opini

Gamifikasi dalam LMS: Meningkatkan Motivasi dan Engagement Aparatur Desa dalam Pelatihan
Ilustrasi by Ketut Subiyanto | Pexels

Opini

Mengenal Lebih Dekat Metode Baca Cepat dan Manfaatnya dalam Pembelajaran Berbasis LMS