TVDesa – Banda Aceh : Camat Meuraxa, Mustafa, dalam kunjungannya ke Gampong Lambung pada Jumat (12/07/2024) memberikan apresiasi atas perkembangan pesat peternakan bebek di desa tersebut. Program yang awalnya dimulai sebagai upaya ketahanan pangan kini telah menunjukkan potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan menarik minat wisatawan.
“Peternakan bebek ini bukan hanya sekadar upaya memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga menjadi lokomotif baru dalam pengembangan ekonomi Gampong Lambung,” ujar Mustafa.
Dari 150 Menjadi 205 Ekor:
Jumlah bebek di peternakan ini telah mengalami peningkatan signifikan dari 150 ekor menjadi 205 ekor. Hal ini menunjukkan keberhasilan program pembibitan dan perawatan yang dilakukan oleh masyarakat. “Kami sangat bangga dengan pencapaian ini. Ini bukti bahwa masyarakat Gampong Lambung memiliki semangat yang tinggi untuk maju,” tambah Mustafa.
Potensi Ekonomi yang Menjanjikan:
Selain memenuhi kebutuhan pangan lokal, peternakan bebek ini juga memiliki potensi besar untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Telur dan daging bebek yang dihasilkan memiliki nilai jual yang tinggi di pasaran. Rencananya, hasil penjualan akan digunakan untuk pengembangan peternakan dan sebagian akan disalurkan untuk program pemberdayaan masyarakat lainnya.
Pariwisata yang Unik:
Melihat potensi yang ada, peternakan bebek ini tidak hanya menarik minat para peternak, tetapi juga menarik perhatian wisatawan. “Kami berencana untuk mengembangkan peternakan ini menjadi agrowisata. Wisatawan dapat melihat langsung proses pemeliharaan bebek, belajar tentang budidaya bebek, dan bahkan bisa membeli produk olahan bebek,” ungkap Mustafa.
Dengan konsep agrowisata, diharapkan peternakan bebek Gampong Lambung dapat menjadi daya tarik baru bagi wisatawan yang berkunjung ke Banda Aceh. Selain itu, kegiatan wisata ini juga dapat memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan mengembangkan ekonomi berbasis sumber daya lokal.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.