TVDesa – Subang : Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di Kabupaten Subang tahun 2021 telah mencapai puncaknya dengan pelantikan dua kepala desa terpilih, yakni Lili Maulana dari Desa Cibalandong Jaya dan Hartono dari Desa Belendung. Pelantikan yang berlangsung pada Selasa, 11 Januari 2022, di halaman kantor Desa Cibalandong, Kecamatan Cibogo ini menandai dimulainya kepemimpinan baru di kedua desa tersebut.
Salah satu keunikan dalam Pilkades Subang kali ini adalah tidak adanya biaya kampanye yang dikeluarkan oleh para calon kepala desa. Hal ini berkat dukungan penuh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Subang yang telah menyediakan anggaran untuk pelaksanaan Pilkades.
“Alhamdulillah semua calon mengeluarkan biaya nol rupiah, sehingga para kades tidak mempunyai beban dan betul-betul bisa melakukan kerja yang baik,” ujar Sri Novia, Camat Kecamatan Cibogo, saat menghadiri pelantikan.
Tingginya partisipasi masyarakat dalam Pilkades juga menjadi sorotan. Desa Belendung mencatatkan angka partisipasi sebesar 82,2% dengan perolehan suara terbanyak untuk Hartono sebanyak 3528 suara dari total 4294 hak pilih. Sementara itu, Desa Cibalandong memiliki angka partisipasi sebesar 89,5% dengan Lili Maulana meraih 1305 suara dari 1458 hak pilih.
Bupati Subang, H. Ruhimat, yang turut hadir dalam pelantikan, memberikan ucapan selamat kepada kedua kepala desa terpilih. Dalam sambutannya, Bupati menekankan pentingnya menjalankan tugas dengan amanah dan tidak menyalahgunakan wewenang, khususnya dalam pengelolaan dana desa.
“Simkuring titip, jalankeun sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, mihape amankan dana desa,” tegas H. Ruhimat.
Bupati juga mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung kepala desa yang baru terpilih dan menjaga kondusivitas desa. “Saya berpesan kepada semua masyarakat untuk selalu mendukung Kepala desa, karena menurutnya Kepala Desa tidak bisa melakukan pekerjaannya tanpa adanya dukungan dari semua masyarakat. Hayu urang sauyunan, ulah rek pagirang girang tampian,” ajak Kang Jimat, sapaan akrab Bupati Subang.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.