TV Desa – Skotlandia : Di hadapan para pemimpin dunia, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa program perhutanan sosial dibuat agar konservasi hutan disertai terciptanya penghidupan bagi masyarakat sekitar.
“Hal ini penting, karena 34% dari seluruh desa di Indonesia berada di perbatasan atau di dalam kawasan hutan,” tegas Presiden Jokowi pada World Leaders Summit on Forest and Land Use, Selasa (2/10) di Scotish Event Campus, Glasgow, Skotlandia.
Menurut Presiden, pertimbangan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial harus dipadukan. Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa keberhasilan pengelolaan iklim di Indonesia dapat dicapai karena Indonesia menempatkan aksi iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan.
Presiden menambahkan bahwa penyalahgunaan isu perubahan iklim sebagai hambatan perdagangan adalah kesalahan besar. Oleh karena itu, Presiden menilai bahwa pengelolaan hutan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan menjadi satu-satunya pilihan. Indonesia siap berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk itu.
“Mari kita kelola hutan yang pro-environment, pro-development dan people-centered. Ini adalah tujuan utama FACT Dialogue, yang diketuai bersama Indonesia bersama Inggris sehingga hutan akan menjadi solusi berkelanjutan bagi aksi iklim global,” ajaknya.
Dalam pertemuan tersebut, hanya ada tiga pembicara yang mendapat undangan khusus dari Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Selain Perdana Menteri Inggris, yang mendapatkan kesempatan berbicara adalah Presiden Kolombia, dan Presiden Republik Indonesia.
Presiden Jokowi menyampaikan pandangan tersebut dalam acara World Leaders Summit on Forest and Land Use yang digelar di Scotish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, pada Selasa (2/11). Presiden Joko Widodo menyampaikan pandangannya terkait menjadikan hutan sebagai bagian dari aksi iklim global. Turut mendampingi Presiden saat menghadiri acara tersebut yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.