TV Desa – Pemalang : Ratusan warga nampak menyemut di komplek wisata Taman Makam Benowo, Desa Penggarit, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. Hasil bumi berupa padi, buah-buahan, sayuran, umbi – umbian dalam bentuk gunungan serta beberapa makanan tradisional, diarak dari lapangan desa.
“Hasil bumi dari Desa Penggarit diarak dari lapangan penggarit diarak menuju ke area Makam Benowo. Selanjutnya dilaksanakan doa bersama di sana. Harapannya semoga kondisi segera pulih dan masyarakat Desa Penggarit dapat beraktivitas seperti biasa”, terang Imam Wibowo, kepala desa Penggarit, seperti dikutip dari channel Ricko Safera, minggu, (17/10/2021).
Di lokasi wisata Taman Makam Benowo tersebut dilaksanakan salah satu rangkaian Parade Budaya Desa Penggarit berupa Sedekah Bumi. Sedekah Bumi sendiri merupakan upacara adat yang melambangkan rasa syukur atas limpahan rezeki berupa segala bentuk hasil bumi. Sedekah tersebut, selanjutnya dibagikan kepada warga saat ritual sedekah bumi.
Menurut Kepala Desa, Imam Wibowo kegiatan sedekah bumi sendiri seyogyanya dilaksanakan bulan Muharam atau Suro karena kondisi masih pandemi namun akhirnya baru dilaksanakan saat ini bertepatan dengan “Muludan“.
Kegiatan sedekah bumi ini merupakan bagian pertama dari rangkaian Parade Budaya Desa Penggarit. Kegiatan selanjutnya adalah Serabi Likuran pada tanggal 23 Oktober 2021 dan terakhir kegiatan Boyong Kentong pada tanggal 31 Oktober 2021.
Saat Serabi Likuran, warga saling mengirim atau mengantarkan serabi buatan masing-masing kepada tetangga dan sanak saudara. Tradisi unik yang sudah turun temurun dilaksanakan warga desa Penggarit ini, merupakan media silahturahmi antar warga. Dalam event ini, akan ada banyak penjual serabi. Dan uniknya, masyarakat membeli Serabi Likuran ini menggunakan uang klitik (kepingan koin yang terbuat dari kayu), yang sebelumnya mereka tukar dengan uang kartal.
Selama kegiatan, dilaporkan kabarpemalang, antrian warga yang hendak ke lokasi wisata tersebut terlihat mulai dari jalur menuju Bendungan Sungapan. Lalulintas tertahan akibat sempitnya jalur tersebut.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.