TV Desa – Garut : Sanggar Desa Karyasari, Kabupaten Garut, menjadi tempat Remaja desa Sukamukti yang tergabung dalam Forum Komunikasi Remaja Desa Sukamukti, mengikuti Pelatihan Bijak Bersosial Media, sabtu (19/3/2022). Materi pelatihan disampaikan Yanyan Agus Supianto, Sub Koordinator (Subkor) Kemitraan Informasi Publik, Bidang Informasi Komunikasi Publik (IKP) Diskominfo Garut.
“Karena adanya kegiatan ini, anak-anak akan lebih membatasi mengenai cyber bullying tersebut atau menggunakan media sosial dengan baik,” kata Siti Zaenab, salah satu peserta pelatihan.
Menurut Siti, acara pelatihan ini sangat penting bagi para remaja, mengingat pada saat ini sangat banyak penyimpangan yang terjadi di media sosial. Siti menambahkan, dalam pelatihan ini para peserta mendapatkan materi terkait perkembangan sosial media sampai dengan sikap bijak dalam bersosial media.
“Sebelumnya ada kaya sejarah tentang internet, terus seperti dalam bersosmed itu harus menggunakan sopan santun, terus ada juga cara menangkal berita berita hoax juga gitu,” kata Siti.
Ia berharap, para peserta yang mengikuti acara ini dapat juga menyebarluaskan materi serta ilmu yang telah didapatkan melalui pelatihan bijak dalam bersosial media ini.
“Terus bisa menggunakan sosmed dengan baik, bijak dalam bersosmed terus mengembangkan semua kemampuan yang berenergi positif agar apa yang kita sampaikan disosmed itu merupakan hal yang bermanfaat bagi siapapun yang melihatnya gitu,” ucap Siti.
Mega Mariah (22), peserta pelatihan yang sama, mengatakan acara seperti ini sangat bermanfaat bagi para remaja, agar dapat menggunakan sosial media dengan lebih bijak.
“Ya betul media sosial itu bukan hanya untuk sharing-sharing saja tetapi mengenai ilmu-ilmu yang belum diketahui bisa diketahui dalam bersosial media,” ucap Mega.
Acara ini merupakan kelanjutan acara dari kolaborasi antara Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Garut dengan Yayasan Sekretariat Masyarakat Anak (SEMAK), yang sebelumnya dihadiri oleh Forum Komunikasi Remaja Desa Karyasari.

Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.