TV Desa – Sumenep : Untuk memberikan kenyamanan, baik bagi perangkat dan juga masyarakat yang datang ke kantor desa, Pemerintah Desa (Pemdes) Galis, Kecamatan Giligenting, Kabupaten Sumenep, melakukan renovasi kantor pemerintahan desa setempat.
“Renovasi kantor desa ini memang sudah menjadi rencana pihak pemdes Galis bersama lembaga masyarakat, karena melihat kondisi kantor desa yang sudah kurang sedap dipandang mata bahkan ada beberapa bagian bangunan yang rusak yang butuh untuk diperbaiki,” tukas H. Akhmad Safri Wiarda, saat diminta keterangannya, Rabu (6/10/2021).
Renovasi kantor pemdes Galis ini, tidak menggunakan dana negara maupun kas desa, namun secara umum menggunakan anggaran dari CSR SKK MIGAS MEDCO ENERGI Indonesia. Anggaran tersebut didapat melalui Jaring Aspirasi Masyarakat (Jasmas) yang telah dilakukan oleh Bina Swadaya Masyarakat Madura (Bisma) Kabupaten Sumenep, sebelumnya.
Kepala Desa Galis H. Akhmad Safri Wiarda juga berharap, dengan selesainya renovasi kantor desa ini, akan berpengaruh positif, sehingga kinerja jajarannya dapat semakin jauh meningkat dan lebih maksimal dalam melayani masyarakat.
“Alhamdulillah, renovasi sudah berjalan lancar. Bagian-bagian bangunan yang rusak kita perbaiki, temboknya kita beri keramik, biar para perangkat desa bekerjanya jadi betah dan nyaman, sehingga pelayan yang diperoleh masyarakatpun maksimal,” ujar Safri, panggilan akrabnya nya.
Sebagai pemimpin desa, tak lupa, Safri juga mengajak perangkat desa dan masyarakat untuk menjaga sekaligus merawat kantor desa, berikut sarana dan prasarana yang ada dikantor desa. Hal tersebut disampaikan, agar supaya berbagai fasilitas yang telah tersedia, dapat digunakan dalam jangka panjang.
“Semoga dengan pembangunan ini pemerintah desa galis sebagai abdi negara semakin maju dan maksimal dalam melayani masyarakat,” pungkas Kades yang sudah menjabat dua periode ini.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.