TV Desa – Bandung : Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil menegaskan, apabila penguatan teknologi dapat berjalan dengan baik di desa-desa, maka peningkatan ekonomi dapat melesat.
“Maka dari itu saya memperkuat teknologi dari desa yang mengubah cara. Ada yang jualan sabun yang tadinya door to door, sekarang omzetnya ratusan juta di Jabar dengan teknologi. ICMI bisa membantu dengan teknologi tepat guna,” terang Emil sapaan Ridwan Kamil, saat webminar nasional ICMI Orwil Jabar, di Gedung Pakuan, Selasa (20/10).
Ridwan Kamil dalam webminar tersebut menitip pesan kepada Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Orwil Jabar untuk memperkuat digitalisasi desa dan menekan urbanisasi atau menekan perpindahan orang dari desa ke kota.
“Saya titip ke ICMI, bagaimana kita menyeimbangkan teknologi menekan urbanisasi,” kata Ridwan Kamil.
Dengan bonus demografi yang didominasi usia produktif pada 2045, dikatakan Emil dapat menjadikan acuan agar tidak melulu orang desa yang ingin mencari nafkah datang ke kota.
“Demografi penduduk kita makin banyak dan Indonesia diprediksi pada 2045, 70 persen di bawah 46 tahun. Jadi generasi di Jabar itu yang sepuh hanya 12 persen,” beber Emil.
Dari jejak rekam digital yang dipindai team TVDesa News, sejak diluncurkan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pada 10 Desember 2018, target semua desa di Jawa Barat bisa “melek” digital atau mengakses digitalisasi ditargetkan rampung dalam dua tahun ke depan. Upaya digitalisasi desa, semata-mata dilakukan agar ekonomi desa bisa terdongkrak.
Emil berharap Desa Digital di Jabar dapat menjadi contoh bagaimana ekosistem digital mampu meningkatkan perekonomian warga desa, sehingga urbanisasi ke kota bukan lagi satu-satunya pilihan untuk meningkatkan taraf kehidupan.
“Itu (Desa Digital Jawa Barat) adalah inovasi besar yang tidak semua tempat di dunia melakukan, jadi saya kira ini contoh. Baru memulai tapi udah diapresiasi, Insyaallah panennya akan luar biasa,” kata emil.
Menjemput nasib, seperti yang diprediksikan Roland Barthes dalam bukunya, The Death of the Author (1968), yang meramalkan matinya sang pengarang. Memang, pengarang bisa menghadirkan diri lagi—meski “hanya” lewat dunia maya, yakni media sosial di Internet—namun jika itu ditahbiskan, maka praktik kebebasan atau keleluasaan pembaca dalam menafsirkan suatu karya akan pupus.